Bab 95 ~ Pemandangan di Puncak Bukit

206 82 2
                                    

"Vidaaa!"

William sudah hendak lari mengejar Vida, ketika Helga memanggilnya, "Cucuku. Vahnar."

William menoleh dan menatap perempuan itu tajam.

"Kau tahu nama asliku?" Ia cepat-cepat duduk lagi. "Berarti kau kenal ayahku. Siapa dia? Tolong, aku perlu tahu."

Helga memejamkan matanya. "Ya, sudah pasti aku kenal ayahmu. Aku yang menariknya keluar dari dalam rahim ibunya. Dia pemuda yang luar biasa, dan wajahnya ... sangat mirip denganmu." Ia membuka mata. "Sejak pertama kau muncul tadi, aku sudah menduganya."

"Berarti kau tahu apa yang terjadi? Kata ibuku, ayahku sudah mati."

"Mati?" Helga termangu. "Itu ... aku tidak bisa melihatnya ..."

"Kalian ... tidak tahu kalau ayahku sudah mati?" tanya William bingung.

"Ada yang bilang ia sudah mati, ada yang bilang ia masih hidup."

"Kau bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi dulu? Siapa sebenarnya ayahku, dan kenapa—"

"Vahnar, dengar," suara si perempuan tua berubah tegas. "Aku bisa jelaskan apa yang kutahu, tapi setelah kupikir-pikir, mungkin tidak sekarang. Dari yang kulihat, kau dan Vida sepertinya punya masalah lain yang lebih pelik. Menurutku, bicaralah dulu dengannya. Setelah kalian berdua berdamai, kau boleh datang lagi kemari."

"Aku tadi sudah mau mengejarnya! Kau yang menahanku!"

"Ya ... Ini situasi yang tak terduga. Siapa pun seringkali tak bisa berpikir dengan jernih. Aku tadinya ingin bicara lebih banyak, tetapi setelah kupikir lebih jauh, sebaiknya aku menjaga mulut, agar tidak terjadi sesuatu yang buruk."

"Aku tidak paham maksudmu," balas William sambil berdiri lagi. "Baik, aku akan bicara dengan Vida dulu. Setelah itu aku akan kembali kemari."

"Jangan kembali sebelum kau bicara dengannya."

William berlari keluar. Melewati halaman, lalu menuruni undak-undakannya. Sesampainya di bawah ia bingung. Apa Vida berbelok kiri, kembali ke desa, atau justru ke kanan, mungkin masuk ke hutan. Sial. Kenapa tadi ia tidak langsung mengejar? Dan kenapa juga Vida sampai menangis begitu?

Pasti karena nama ayahnya itu. Vilnar. Apakah ayahnya dulu bermusuhan dengan keluarga Vida? Kalau William tidak salah ingat, ibunya bercerita, dulu ayahnya pernah berselisih dengan sukunya sendiri. Vida menangis, karena sekarang membawa musuh keluarganya kembali ke Vallanir.

Itu dia! Itulah kenapa ibunya dulu melarangnya kembali ke suku ayahnya. Supaya tidak terjadi hal seperti ini! Rasa takut perlahan muncul. Bagaimana jika sang kepala suku ternyata mengenalinya sebagai anak Vilnar? Harus bagaimana sekarang? William tetap ingin tahu siapa ayahnya dan apa yang sebenarnya terjadi di masa lampau, tetapi apakah itu memang perlu?

"Williaaam!"

Selagi William kebingungan, Freya muncul dari arah pemukiman, lari mendekatinya. Gadis berambut merah itu seperti biasa tersenyum manis.

"Aku mencari kalian sejak tadi. Apakah kalian sudah bertemu Helga? Hei, mana Vida?"

"Hmm ... tidak tahu," jawab William pelan. "Ia mendadak pergi."

"Ah, kalau begitu kebetulan. Kamu ikut aku sekarang."

"Ke mana?"

"Sudah, ikut saja."

Freya mengajak William berjalan lagi ke arah pemukiman. Namun alih-alih meneruskan perjalanan kembali ke desa, Freya berbelok, mengajaknya mendaki bukit. Mereka naik, menyusuri jalanan setapak yang semakin lama semakin kecil dan akhirnya tidak ada lagi. Pepohonan yang mereka lewati mulai renggang, dan mereka sampai di puncak bukit.

Pemandangan memukau terpampang. Hijaunya hutan yang membentang dari ujung kiri sampai kanan cakrawala, tetapi yang jika diperhatikan lebih jauh, di cakrawala itu ada garis biru dan putih yang cukup tebal. Ini pemandangan yang belum pernah William lihat seumur hidupnya, dan ia langsung lupa dengan berbagai macam permasalahannya.

"Apa yang biru itu?" tanya William heran.

"Lautan Utara," jawab Freya bangga. "Dan yang putih itu adalah dataran es, di tengah lautan, atau di seberang lautan. Bagaimana menurutmu? Bagus?"

"Luar biasa." William menggeleng-geleng kagum. "Aku belum pernah melihat laut. Kalau salju, sudah biasa. Di selatan juga ada salju kalau musim dingin."

"Tempat ini yang selalu terpikirkan olehku, sejak aku mengajakmu. Aku yakin kamu pasti suka. Walaupun lautnya hanya terlihat kecil, tetapi indah."

"Kamu pernah ke sana? Ke laut?"

"Pernah." Freya mengangguk. "Sekali, ke pantainya. Bersama ayahku dan Vida aku pernah pergi ke wilayah suku Andranir, yang letaknya di tepi lautan. Tetapi dingin sekali di sana. Aku tak berani berperahu. Hanya para pencari ikan dan minyak ikan yang berani." Ia menoleh. "Kamu mau ke sana, William? Kalau mau, kita bisa pergi."

William tersenyum. "Sepertinya menarik. Biar nanti kupikirkan."

Freya termenung memperhatikannya. "Aku ingin tahu ... apa yang kamu pikirkan."

"Aku punya banyak hal untuk dipikirkan. Apa yang kamu ingin tahu?"

"Misalnya, jika aku mengajakmu pergi, berdua saja, apa yang mungkin kamu pikirkan. Apakah kamu akan senang, atau malah menganggapku aneh."

William mengerti apa yang ingin dibicarakan oleh Freya. Gadis itu tak pernah takut mengatakan apa yang dia rasakan, termasuk kesukaannya pada William. Dia pernah mengatakannya dulu secara terang-terangan saat mereka berperahu. Namun jika kemudian dia menjadi sedikit ragu, apa pun alasannya, mestinya itu adalah hal yang wajar. Apalagi, jika yang dikatakan oleh Vida benar, di mana Freya hendak meminta William agar mau menjadi suaminya. Ini sesuatu yang dari luar kelihatannya sederhana, tetapi sebenarnya rumit.

Bagi William, akan lebih baik jika hal ini diselesaikan secepatnya. Ia ingin secepatnya bilang bahwa ia tak bisa membalas perasaan Freya, karena hatinya sudah tertambat pada gadis lain. Di sisi lain ia tak ingin menyakiti gadis itu, karena Freya adalah gadis yang baik. Jika saja William berada di posisi berbeda, mungkin ia juga akan marah jika tahu gadis itu disakiti.

Masalahnya, ia sekarang berada di posisi orang yang bisa menyakiti.

"Aku takkan menganggapmu aneh," jawab William. "Kita bukan kanak-kanak lagi. Jika ada seseorang mengajak orang lain pergi bersama, itu bukan sesuatu yang aneh."

Freya menoleh, memandanginya. "Berarti, kamu senang?"

"Tergantung," jawab William hati-hati, "pada apa yang sebenarnya kamu inginkan, saat kamu memintaku pergi denganmu."

"Aku menginginkanmu ... untuk menjadi ... suamiku."

William diam beberapa lama, sebelum coba menjawabnya dengan hati-hati, "Freya, kamu baru mengenalku tak lebih dari sebulan. Kamu menyukaiku, aku menyukaimu, itu wajar, karena kita berteman dan selalu bersama selama perjalanan. Tetapi untuk menjadi suami istri, perlu lebih dari itu."

Freya tertawa pelan seraya memindahkan pandangannya kembali ke depan. "Jadi menurutmu, William, kita tidak bisa lebih daripada sekadar menyukai sebagai seorang teman, jika kita baru saling mengenal? Apa kamu tidak sadar, bahwa kamu sedang berbohong?"

William mengembuskan napasnya perlahan. "Apa maksudmu?"

"Kamu menyukai Vida, bukan? Lebih daripada sekadar teman. Padahal sama saja, kamu juga baru mengenalnya, sama dengan kau baru mengenalku. Kenapa berbohong padaku?"

"Ya, aku tidak jujur tadi. Maaf. Aku hanya tidak ingin menyakitimu."

"Berbohong hanya akan membuatmu lebih menyakiti orang lain."

"Ya, maaf. Tapi, setelah kamu tahu sekarang, apa kamu marah?"

"Marah?" Freya menggeleng. "Mana bisa aku marah padamu? Atau pada Vida? Dia kakakku, orang terbaik yang pernah kukenal seumur hidupku. Aku sayang padanya. Aku ingin dia bahagia. Tapi, bukankah wajar jika aku berharap bisa bahagia juga?"

"Apa kamu bisa berbahagia, saat orang lain tidak?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now