Bab 28 ~ Rumah Kosong

308 88 1
                                    

William mendayung perahunya lebih jauh ke timur. Pertemuannya dengan Bullock membangkitkan keinginannya yang sempat lama terpendam. Ia kembali ingin tahu apa yang terjadi pada ayahnya.

William menunda kepulangannya ke markas pasukannya di Thaluk, dan mengabaikan pesan ibunya yang tidak ingin dirinya pergi mencari tahu soal ayahnya. Di tempat ini William merasa sudah begitu dekat dengan apa yang dicarinya, sehingga ia yakin suatu hari nanti ia justru akan menyesal jika sampai tidak berani mencari lebih jauh. 

Tentu saja berkunjung ke rumah ayahnya tidak akan serta merta membuka semua rahasia, tapi paling tidak hal ini bisa mengobati kerinduannya pada sosok ayah dan ibunya.

Selain itu, mungkin hal ini bisa membuatnya mengenali dirinya dengan lebih baik, karena di rumah itulah dulu William dilahirkan.

Perahunya terus melaju. Selama mendayung ia memperhatikan ke kiri dan ke kanan, tak mau melepaskan hal-hal kecil yang bisa menjadi petunjuk. Batu-batu besar, semak belukar dan pepohonan lebat ia lewati, tetapi sampai bayangan tubuhnya memanjang ia belum menemukan apa pun.

Ketika matahari semakin turun ia mulai ragu. Apakah benar ini anak sungai yang tepat? Sungai Ordelahr memiliki banyak sekali anak sungai, terutama yang mengarah ke timur, sehingga bisa jadi rumah itu justru berada sangat jauh dari sini. 

Semangatnya memudar, dan setelah beberapa lama akhirnya ia lebih terpikir untuk mencari tepian sungai yang tenang, yang bisa dijadikannya tempat menambat perahu dan beristirahat malam ini.

Ia menemukan tepian sungai yang menjorok ke daratan. Airnya tenang, terlindungi oleh sederet batu besar. William membawa perahunya menepi dan mengikatkannya ke batang pohon. 

Saat itulah, ia melihat sebuah rumah kayu di balik belukar. Letaknya tersembunyi, tak bisa terlihat langsung dari sungai. William berdiri dengan dada berdebar kencang. Sesuatu dalam hatinya mengatakannya dengan jelas: itulah rumah yang ia cari. Rumahnya.

Hati-hati ia melangkah, menyusuri jalan setapak yang melingkari belukar. Di balik sebuah pohon besar ia berhenti. Ia mengamati rumah kayu itu beberapa lama. 

Rumah itu sederhana, kecil, di dalamnya mungkin hanya ada tiga atau empat ruangan. Rumput liar tumbuh di sekelilingnya, dan menutupi jalan di depan pintu. Sepertinya rumah itu sudah lama tidak ditinggali. 

Namun satu hal membuatnya ragu. Salah satu jendela di sisi rumah sedikit terbuka. Apakah ada orang di dalam sana? Ataukah sejak dulu jendela itu terbuka?

William memegang gagang pedang di pinggangnya, bersiaga jika benar ada orang lain di tempat ini. Perlahan ia berjalan mengitari rumah, ke arah dinding tempat jendela terbuka. 

Ia tidak berusaha mendekat ke jendela dan hanya melihat bagian dalam rumah dari jauh. Tampaknya kosong, dan cukup gelap. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang.

Selama beberapa saat William berusaha meyakinkan diri, sebelumnya akhirnya benar-benar lega. Sepertinya memang rumah ini kosong, dan ia tidak perlu takut. Ia berjalan kembali ke depan rumah, kemudian tertegun.

Tak jauh darinya berdiri seorang gadis yang jangkungnya menyamai William. Rambutnya panjang berwarna kuning, dikepang ke kiri dan ke kanan. Wajahnya rupawan, tapi matanya yang bundar berwarna biru itu menyorot tajam. 

Penampilan gadis itu kelihatan gagah dengan baju tebal tanpa lengan terbuat dari kulit beruang. Namun yang membuatnya tampak menakutkan adalah pedang besar di tangan kirinya. Dengan sekali lihat William tahu, pedang tersebut jauh lebih baik daripada pedang yang dimilikinya saat ini.

William melirik pintu depan yang kini terbuka. Mungkinkah gadis ini tadi ada di dalam sana? Mungkin dia langsung keluar begitu menyadari kedatangan William. Tindakannya itu menunjukkan kalau adalah dia gadis yang sangat berani. 

William pun tak ingin gegabah. Dari rambut gadis itu yang berwarna kuning, kemungkinan besar gadis ini orang Hualeg. Artinya sudah pasti berbahaya. Mungkin ada baiknya ia bicara dulu dengan gadis itu.

"Simpan pedangmu!" seru William. "Bisakah kita bicara?"

Sesaat kemudian ia merasa bodoh. Memangnya gadis ini bisa mengerti apa yang ia ucapkan?

Ternyata iya. Gadis itu memandang pedang di tangannya, lalu mengangkat wajahnya, seraya menunjuk ke arah William.

"Pedang kamu," ucapnya dengan logat janggal. "Keluarkan."

William menatapnya bingung. "Maksudmu?"

"Keluarkan." Gadis itu mengacungkan pedangnya ke arah William.

William memaki dalam hati. Tampaknya gadis itu ingin bertempur dengannya. William tak suka jika harus bertarung melawan perempuan, dan jika kemudian harus membunuhnya.

"Keluarkan pedang kamu!" suara gadis itu kini terdengar keras.

Sepertinya William tidak punya pilihan.

Ia pun mencabut pedangnya. Namun begitu pedangnya teracung, tanpa ia duga gadis di depannya langsung maju dengan langkah-langkah lebar menerobos rerumputan. Gadis itu mengayunkan pedang di tangan kirinya. 

William cepat-cepat menangkis ke samping, dan terkejut, karena ayunan pedang gadis itu lumayan bertenaga. Bahkan tanpa ragu gadis itu terus menghantam berkali-kali dengan sama kuatnya. William terpaksa bertahan.

Satu hal yang membuat William kesulitan adalah ia belum pernah berhadapan dengan lawan yang bertangan kidal. Sebaliknya gadis itu pasti sudah sering melawan musuh yang menggunakan pedang di tangan kanan. Setiap kali William mencoba mengayunkan pedangnya, dengan mudah gadis itu menghindar dengan cara terus bergeser ke sebelah kanan William, menjauh dari tusukan pedangnya, kemudian ganti menyerang.

William menjadi kesal. Ia menggenggam pedangnya dan mengumpulkan seluruh tenaga, kemudian mengayunkan pedangnya ke samping kanan. Beradu, pedang di tangan gadis itu bergetar. Dia mundur satu langkah. William tak mau melepaskan kesempatan. Secepat kilat pedangnya terayun lagi.

Gadis berambut kuning itu berusaha menangkis, tetapi karena pegangannya tidak cukup kuat, pedangnya terlempar. William melompat, mencengkeram baju tebal gadis itu lalu mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Punggung gadis itu membentur batang pohon. Cukup keras. Tapi, hebatnya, dia sama sekali tidak mengerang. Dia malah melotot dan berusaha memberontak.

William mengarahkan pedangnya ke leher gadis itu, sementara tangan kirinya menahan dada gadis itu.

"Hentikan!" seru William. Wajah mereka cukup dekat, sampai ia bisa merasakan dengusan napas dan suara geraman gadis itu. "Tenang dulu!"

William senang ketika akhirnya gadis itu tak lagi melawan, karena dengan demikian ia tak perlu menghajarnya. Hanya mata gadis itu yang masih menatap tajam. Lega, William pun menurunkan pedangnya.

"Dengar, kita tak perlu bertarung. Aku tidak ingin melukaimu. Cukup katakan saja, kenapa kau bisa ada di—"

Tendangan lutut di selangkangannya menghentikan semuanya. William hampir muntah, konsentrasinya lenyap. Tangan kiri gadis itu menahan tangan kanan William yang memegang pedang, kemudian tangan kanannya melakukan pukulan dari bawah, telak ke dagu William. Berikutnya tinju kiri gadis itu terayun, tepat bersarang di rahang William. Dua kali.

Pemuda itu terhuyung, pedang terlepas dari tangannya dan ia terjatuh. Belum sempat ia pulih, tendangan keras si gadis datang menghantam kepalanya bagai pukulan martil. William roboh seketika, pingsan.

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang