Bab 51 ~ Awal Mula

307 91 1
                                    

Tujuh belas tahun sebelumnya

---

Api masih berkobar menjilati setiap rumah yang dinding serta atap-atap kayunya telah runtuh dan menghitam. Mayat-mayat manusia bergelimpangan di atas rerumputan, batu dan pasir di tepi Sungai Ordelahr.

Ini adalah desa kedua yang dilewati Vilnar siang ini, dan sama seperti yang pertama, tak ada lagi kehidupan yang tersisa di sana.

Vilnar terus mendayung perahunya. Kedua lengannya mengayun ke kiri dan ke kanan seolah tanpa tenaga, dengan begitu efisiennya sehingga perahu seolah dapat meluncur jauh dengan hanya sekali kayuhan.

Ia menoleh sebentar ke belakang. Setumpuk mantel kulit beruang menggunung memenuhi perahu kecilnya. Hasil perburuannya selama musim semi, yang pada musim panas ini seharusnya bisa ia jual tuntas di setiap desa yang dilewatinya, kalau saja tidak terjadi sesuatu yang buruk di desa-desa itu.

Sekarang, apa yang bisa dilakukannya dengan semua barang ini?

Namun, walaupun hal itu terasa cukup mengesalkan baginya, bukan itu yang paling membuatnya gundah. Perasaan sedih, khawatir, marah, malu; sederet perasaan itulah yang muncul bercampur aduk di hatinya saat ini, begitu ia menyadari siapa yang telah melakukan tindakan kejam di desa-desa yang baru saja dilewatinya. Orang-orang Hualeg yang melakukannya.

Tanpa perlu melihat sosok orang-orang itu Vilnar sudah tahu, karena ia dulu ia pernah menjadi bagian dari kelompok penjarah itu.

Negeri Hualeg terletak jauh di utara. Berhawa dingin di mana matahari hanya bersinar terang selama tiga bulan dalam satu tahun, dikelilingi lautan es yang hampir selalu membeku di utara, serta dipayungi hutan lebat dengan pohon-pohon jangkung di selatan. Sebuah tempat terpencil yang hanya bisa dicapai dengan mengarungi Sungai Ordelahr sambil menembus hutan selama berminggu-minggu.

Di kampung halamannya itu, tiga tahun yang lalu, Vilnar masih hidup dengan nyaman layaknya seorang anak kepala suku.

Ia adalah putra bungsu kepala suku Vallanir, salah satu suku terbesar di Hualeg. Sejak umur enam belas tahun ia sudah ikut bertempur bersama kakak sulungnya melawan musuh bebuyutan mereka dari barat, suku Logenir.

Lalu pada umur delapan belas tahun ia diajak oleh kakaknya yang lain pergi menembus hutan dan menjarah ke desa-desa di selatan. Perjalanan yang kemudian membuatnya muak, begitu ia melihat darah wanita dan anak-anak tertumpah di depan matanya.

Tak setuju dengan kebiadaban yang mereka lakukan, ia berkelahi dengan kakaknya sendiri, lalu pulang ke utara.

Namun bangsa Hualeg memiliki aturan keras soal prajurit yang membelot. Walaupun Vilnar adalah anak kepala suku, dan sebagian orang juga tak menyukai pembantaian yang dilakukan kakaknya di selatan, Vilnar tetap melanggar peraturan dan janji yang dulu ia ucapkan sebelum melakukan perjalanan ke selatan, dan karenanya harus menjalani hukuman.

Pilihan hukumannya ada dua. Yang pertama adalah ia harus mengakui kesalahannya, lalu untuk memulihkan kehormatannya ia harus melakukan sebuah tugas. Membunuh Rohgar, anak kepala suku Logenir.

Sebenarnya, itu bukanlah tugas yang terlalu sulit. Jika mereka berdua bisa bertemu satu lawan satu di medan tempur, Vilnar yakin bisa mengalahkan musuhnya itu dengan mudah. Namun sekalipun ia memiliki dendam pada Rohgar, ia menolak pilihan itu karena merasa tidak berbuat salah.

Ia mengambil pilihan kedua: pergi dari tanah Hualeg, dan tidak boleh kembali ke utara selama tiga tahun. Bagi orang Hualeg pada umumnya, diasingkan atau diusir semacam itu adalah sebuah hukuman yang memalukan, tetapi bagi Vilnar, itu justru pilihan jalan yang lebih terhormat.

Maka ia pun pergi. Selama berminggu-minggu ia berperahu, sebelum akhirnya tiba di tepi hutan jauh di selatan, tempat di mana akhirnya ia bisa menemukan daging rusa kutub yang lezat untuk dimakan.

Di sebuah cabang sungai yang sepi ia menebang pepohonan dan mendirikan rumahnya yang baru. Ia hidup dengan cara berburu, kemudian berinteraksi dengan suku-suku asing di desa-desa selatan, sehingga akhirnya mulai dikenal sebagai pemburu dan penjual mantel kulit beruang.

Semakin mengenal orang-orang selatan semakin ia paham bahwa ternyata ada kehidupan lain di luar Hualeg yang lebih menenangkan hati daripada sekadar memainkan kapak. Sekarang, setelah mengetahui semua hal baru itu, masihkah ia punya keinginan untuk pulang ke Hualeg?

Usianya kini dua puluh dua tahun. Tiga tahun masa pengasingannya telah lewat. Artinya, sebenarnya ia sudah boleh pulang ke utara. Hal itu selalu terpikirkan olehnya, tetapi ternyata ia masih enggan melakukannya.

Vilnar telanjur mencintai kehidupannya yang baru.

Sayangnya, saat ini hal indah itu tampaknya telah benar-benar berakhir. Tahun demi tahun semakin banyak orang-orang Hualeg yang berani menjelajah jauh ke selatan, dan mereka membawa perilaku biadab yang rasanya lebih kejam daripada yang pernah dilihatnya dulu di utara. Mereka pergi ke selatan dan tanpa ragu membunuhi setiap orang yang mereka temui, seringkali hanya demi mengambil sedikit kekayaan dari desa-desa yang kecil dan miskin.

Hal semacam ini membuat Vilnar marah, juga malu.

Yang kemudian membuatnya penasaran adalah suku Hualeg mana yang melakukan kekejaman ini? Apakah sukunya sendiri, Vallanir, ataukah suku Hualeg yang lain? Saat melewati desa pertama Vilnar berkata dalam hati, mungkin sebaiknya ia tidak usah ikut campur. Yang penting mereka tidak sampai menemukan dirinya dan mengganggunya.

Namun ketika melewati desa kedua ia tak bisa lagi menahan diri. Orang-orang desa ini sudah telanjur menjadi teman-temannya. Ia tak hanya berdagang dan bertegur sapa, tapi juga sering berbincang dengan mereka, dan bahkan minum-minum bersama. Ia tidak bisa menerima mereka dibunuh begitu saja, walaupun mungkin itu dilakukan oleh suku atau keluarganya sendiri.

Suara deru keras terdengar. Vilnar membawa perahunya mendekat.

Air terjun setinggi pohon pinus menjulang di hadapannya, mengalir dari selatan ke utara. Ia tahu tak jauh di atas sana terdapat desa lainnya, desa terjauh yang pernah ia injak di selatan. Sebuah desa yang mestinya menjadi sasaran terakhir para penjarah dari Hualeg.

Ia mengenali jejak orang-orang utara dari tiga buah perahu besar yang tertambat di tepi sungai, tak jauh dari air terjun. Bentuknya memanjang, berbeda dengan perahu desa-desa setempat yang lebih kecil dan pendek.

Perlahan Vilnar membawa perahunya ke balik batu-batu besar, menyembunyikannya di sana. Ia menajamkan pendengaran, berusaha mengenali suara-suara yang terdengar dari arah desa. Tak ada suara apa pun, kecuali deru air terjun. Mungkin desa itu pun sudah menjadi abu.

Amarah Vilnar menggelegak, tapi ia tak mau gegabah. Perlahan ia meletakkan dayungnya, lalu meraih sesuatu dari kolong tempat duduk. Sebuah pisau panjang, yang biasa ia gunakan untuk membabat pepohonan atau memotong hewan. Ia ikatkan gagang pisau itu di pinggang sebelah kirinya.

Bagi kebanyakan orang itu adalah senjata yang cukup menakutkan, tetapi jelas belum seberapa dibandingkan yang muncul berikutnya. Tangannya meraih lagi ke bawah. Kali ini kapak perang berukuran besar tergenggam. Panjang gagang kapak itu sebentangan tangan, dan bilah tajamnya selebar kepala. Seluruhnya terbuat dari baja dan genggamannya dilapisi kulit rusa.

Dengan kapak ini Vilnar biasa menebang pohon hanya dengan tiga kali ayunan, dan dulu, membelah tubuh manusia dengan sekali ayunan.

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang