Bab 15 ~ Korban Pertama

384 115 1
                                    

Gadis itu! Kenapa dia ada di sini?

Sesaat pikiran William buntu. Ia tak tahu harus berbuat apa. 

Ia balik menatap Muriel yang bersembunyi di balik batang pohon besar. William tak berani berteriak menegur gadis itu. Ia tak ingin ketahuan. Jadi terpaksa ia hanya bisa membuat raut wajahnya terlihat segalak mungkin, untuk menunjukkan pada Muriel bahwa ia sangat kesal melihat Muriel mengikutinya sampai ke tempat ini. 

Haaah! Apa sih yang ada di kepala gadis itu? 

Kenapa dia selalu membantah dan tidak mau menuruti ucapan William sekali saja?

Belum hilang rasa takutnya, kejadian berikutnya membuat William semakin panik. Dua perahu yang sebelumnya hanyut kini sudah bergerak mendekat ke tepi sungai. Jarak mereka kini cukup dekat dengan tempat Muriel bersembunyi, mungkin hanya sekitar belasan langkah. 

Artinya, jika orang-orang itu cukup jeli dan waspada, mereka akan bisa melihat Muriel dengan mudah.

William cepat-cepat melambaikan tangannya, menyuruh Muriel agar datang berlari ke arahnya. 

Dalam remang cahaya bulan yang kini dengan kejamnya keluar dari balik awan, wajah Muriel yang pucat semakin jelas. Gadis itu masih menggigil, tak berani bergerak, sekaligus paham kalau ada empat orang datang mendekat. Dia pun mengangkat tubuhnya, siap berlari.

Namun gerakan mendadak gadis itu justru menarik perhatian seorang bandit yang baru saja turun dari perahu. Laki-laki brewokan dengan bekas luka di pipinya, yang tadi disebut-sebut oleh Rogas. Orang itu berseru sambil menunjuk ke arah Muriel. 

Tiga rekannya ikut melihat. Si Codet berteriak memberi perintah. Dua bandit, termasuk dia sendiri, menjauh untuk membantu Mornitz melawan Rogas, sedangkan dua lainnya berjalan ke arah Muriel.

William memaki begitu sadar apa yang akan terjadi. Tanpa pikir panjang ia melesat keluar dari persembunyiannya, menyelinap di antara belukar. Ia berhasil mencapai Muriel lebih cepat dan langsung melewati gadis itu untuk mendekati kedua musuhnya.

Kedua bandit itu terperanjat melihat kedatangannya. Satu orang gagal bereaksi. Belum sempat penjahat itu mengangkat pedang, belati William sudah lebih dulu menyambar pinggang kanannya, memotong dari depan sampai ke belakang. 

Orang itu meraung. Darah muncrat ke mana-mana.

Rekan sang bandit mengayunkan pedangnya memutar. William menunduk, berjongkok serendah mungkin. Belatinya menusuk lurus ke depan, menembus perut si bandit. Laki-laki itu meraung. 

Sekuat tenaga William lalu mendorong pisau yang menancap di perutnya, membuat dia jatuh menimpa rekannya yang lebih dulu terkapar. Dua bandit itu bersimbah darah.

Di dekat mereka Muriel meringkuk dengan tubuh gemetar, sementara William memandangi belati berlumuran darah di tangannya. 

Ia telah belajar menggunakan pedang cukup lama, sekitar beberapa bulan, dan sejak awal ia sudah tahu bahwa suatu hari nanti, jika ia menjadi prajurit atau semacamnya, ia akan menumpahkan darah seseorang, bahkan mungkin sampai membunuh.

Tentu saja, itu jika bukan dirinya sendiri yang terbunuh. 

Ia sudah sering mendengar cerita-cerita semacam ini dari Rogas maupun orang-orang lain di desa. Pada satu saat cerita-cerita pertempuran semacam itu terdengar seru dan menggairahkan, tapi di saat-saat lain bisa cukup mengerikan sampai membuat bulu kuduknya berdiri. Saat mendengarkannya, gairah dan rasa ngeri itu bahkan bisa pula bercampur aduk menjadi satu di saat bersamaan.

Perasaan campur aduk itulah yang kini ia rasakan. Ia tahu apa yang mungkin ia alami, dan ia lakukan, begitu menerima belati dari Tuan Horsling. Ia akan melukai seseorang, bahkan mungkin membunuhnya. Atau malah sebaliknya, ia yang terluka dan terbunuh. 

Ia takut bukan main, lega karena bukan dirinya yang terluka, sekaligus merinding begitu membayangkan bahwa tangannyalah yang telah membuat luka fatal di tubuh bandit-bandit itu.

Namun ini belum selesai. Kematian masih sangat dekat jika ia lengah. Tak jauh darinya Rogas masih bertarung, tetapi keterampilan pedang Mornitz sebanding dengannya. Ditambah munculnya dua bandit lain, Rogas kini terdesak dan akhirnya terpojok di bawah tebing. 

William harus segera menolong rekannya itu tanpa perlu banyak bertanya-tanya kenapa semua ini bisa terjadi. Secepat mungkin, sebelum ia terlambat dan menyesal.

William memegang belati dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menyambar pedang musuh yang tergeletak di tanah. Ia berusaha tak mempedulikan dua musuh pertamanya yang merintih meregang nyawa. Untuk sementara ia juga terpaksa meninggalkan Muriel yang menangis di balik belukar.

William berlari mendekati Rogas dan ketiga musuhnya, sambil berusaha menghilangkan rasa takut dan menggantikannya dengan amarah. Sebenarnya ia belum yakin. Ini adalah rasa yang asing baginya. Tetapi jika benar ini adalah amarah, maka ia lebih membutuhkannya dibanding rasa takut, jika nanti mau bertindak kejam dan melukai musuhnya tanpa ampun.

Pertarungan berikutnya tidak mudah. Musuh sudah lebih waspada begitu melihatnya berhasil melumpuhkan rekan mereka dengan cepat. Seorang bandit menghadang William, sementara Mornitz dan Si Codet mengepung Rogas. Bandit pertama itu mengayunkan pedangnya sambil memaki-maki.

William membalas dengan tebasan yang tak kalah kuat. Ia bergerak liar, tanpa banyak gaya, tapi kuat dan ganas. Ia terus mengadu pedangnya dengan pedang musuh.

Tenaga William yang besar dan meledak-ledak tampaknya mengejutkan musuhnya. Orang itu terdesak mundur. William tahu ia baru saja menemukan kesempatan. Tangan kirinya yang masih memegang belati menemukan celah. Belati itu menyambar ke arah pinggang musuhnya.

Si bandit berusaha menghindar, tetapi sial baginya, kakinya tersandung di batang pohon patah yang tingginya kira-kira sejengkal. Tubuhnya terjungkal ke belakang, dan belum sempat ia bereaksi ujung pedang William sudah datang ke perutnya, menusuk hingga tembus ke belakang.

Jerit tertahan si bandit terdengar, matanya melotot, tubuhnya kelojotan, sebelum akhirnya tewas. Sedangkan William, mulai terbiasa dengan darah.

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang