Bab 16 ~ Menjadi Musuh

358 122 3
                                    

William mengacungkan pedangnya ke depan, bersiap-siap menghadapi serangan dari dua musuhnya yang tersisa. 

Dua lawan dua. Sebenarnya kedudukannya sekarang seimbang. Itulah mungkin kenapa suara tawa mengejek dari Rogas tiba-tiba terdengar di sampingnya.

"Wah! Temanmu itu tampaknya benar-benar ketakutan, Mornitz!" seru Rogas. "Apa kau tidak kasihan dan mau terus memaksanya bertarung? Dengar, bagaimana kalau kalian menyerah saja? Daripada mati di sini!"

Mornitz menoleh lagi pada Si Codet. "Heh! Tunggu apa lagi? Serang bocah itu! Kau tidak ingin membalas kematian teman-temanmu?"

Mendapat bakaran semangat dari Mornitz, emosi Si Codet akhirnya tersulut. Ia mengeluarkan teriakan kalap. Putaran pedangnya kuat dan cepat. Ia memang lebih tangguh dibanding ketiga rekannya. William langsung merasakannya begitu beradu tenaga dengan laki-laki itu. Ia melepaskan belati di tangan kirinya dan menggenggam pedang dengan kedua tangan.

Bagi William, bunyi pedang beradu yang memenuhi telinganya kini hampir sama seperti dentang-denting yang biasa ia dengar saat menghantam lempengan-lempengan besi di bengkelnya. Ia sudah terbiasa, dan mungkin itu yang membuatnya bisa bergerak tanpa ragu dan semakin ganas. 

Pedangnya berputar-putar bagai puting beliung, penuh tenaga, mendesak Si Codet semakin jauh dari tempatnya semula hingga mulai mendekati tepi sungai.

Musuhnya semakin kalap dan gerakannya mulai tak beraturan. Panik, tak menyangka William mampu mengimbanginya, Si Codet mencoba berbagai serangan, menusuk dari kiri, menyabet dari kanan, juga lurus ke depan.

Semuanya sia-sia. William bisa menangkis semua serangan itu dan balik merangsek dengan hantaman-hantaman yang bagaikan palu godam. Si Codet semakin terdesak dan kehabisan napas. Laki-laki itu tak mampu mengendalikan emosi dan akhirnya malah memaksakan diri untuk balik menyerang.

Namun sapuan pedangnya gagal mencapai sasaran. William menghantam pedang musuhnya itu ke samping hingga membuat tubuh Si Codet hampir terputar kehilangan keseimbangan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, William menebas dari atas ke bawah, menggores punggung lawannya.

Si Codet meraung kesakitan. Laki-laki itu dengan susah payah berusaha memutar tubuh sambil mengayunkan pedangnya mendatar sekali lagi. 

William mengelak, lalu kembali menyabetkan pedangnya. Kali ini paha kanan bandit itu terkoyak lebar. Tubuhnya pun berlutut bersimbah darah. Pedangnya jatuh. William langsung menendang dada musuhnya itu hingga dia telentang.

William memandangi musuhnya dengan emosi menggelegak. Kalau tak berpikir panjang pasti ia sudah mengayunkan lagi pedangnya untuk membelah kepala musuhnya. Hal semacam itulah yang biasa dilakukan saat perang seperti dalam cerita-cerita Rogas atau orang-orang kasar lainnya di desa. 

Namun ketika saat itu benar-benar datang padanya William ternyata belum bisa sekejam itu. Rasa ibanya masih ada, menutupi amarahnya begitu ia melihat laki-laki di depannya yang kini terbaring tak berdaya.

William menelan ludah, bibirnya bergetar. Selama beberapa saat ia kebingungan. Haruskah ia menghabisi musuhnya, atau memberi ampun?

Sederet pertanyaan mampir di benaknya. Memangnya untuk apa ia membunuh laki-laki ini? Apakah mereka memang musuhnya? Atau justru bukan sama sekali? Jikapun benar mereka itu musuh, apakah harus dibunuh?

"William!" seruan Rogas terdengar.

William menoleh, memandangi rekannya yang tengah terduduk sambil meringis kesakitan. Laki-laki itu menunjuk ke arah sungai dengan pedangnya.

"Mornitz! Dia kabur!"

Mornitz, laki-laki berjubah hitam yang sebelumnya tampak begitu meyakinkan dan berbahaya, ternyata sudah lari ke tepi sungai dan kini mendorong sebuah perahu yang tadi digunakan anak buahnya. Laki-laki itu melompat naik lalu mendayung. Ia dan William saling menatap.

Bahkan dari jarak beberapa meter William bisa merasakan sorot mata benci dan dendam yang meluap-luap dari lelaki berjubah hitam itu.

Sesaat kemudian William terhenyak, karena di dekat perahu-perahu itu seingatnya tadi ada Muriel. Di mana dia? Apakah dia baik-baik saja?

Untunglah, gadis itu kemudian muncul berlari ke arah William. Wajah gadis itu pucat pasi dan tubuhnya gemetar.

"Kejar dia, William! Ambil perahu yang satu lagi! Jangan biarkan dia lolos!" Rogas berseru. 

Ia menggeram kesal sambil memegangi pahanya. Ternyata dia terluka cukup dalam dan tak mampu berlari. Itulah kenapa Rogas menyuruh William untuk mengejar Mornitz.

"Ke—kenapa?" William bertanya gugup. "Kenapa harus dikejar? Yang penting dia sudah pergi. Kita sudah selamat!"

"Selamat? Sudah selamat?!" Susah payah Rogas berdiri sambil bertumpu pada pedangnya. Dengan langkah terseret ia berjalan mendekati William. 

Wajahnya tampak bengis. "Kau ini bodoh atau apa, hah?"

Dia berdiri di samping musuh terakhir William yang masih merintih kesakitan. Si Codet. Tanpa terduga Rogas mengangkat pedangnya, lalu mengayunkannya, menebas leher orang itu. 

Muriel menjerit seraya menutupi wajah dengan kedua tangan. William melongo, kaget bukan kepalang.

Rogas melotot. "Mereka itu musuhmu! Itulah kenapa kau harus mengejar Mornitz! Bukan hanya itu! Saat kau punya kesempatan, bunuh mereka!"

William menggeleng-geleng tak percaya. "Tapi ... dia, Mornitz ... dia orang yang berbahaya! Kurasa tidak mungkin aku mengejar—"

"Dia takut!" seru Rogas. "Dia takut padamu, William! Dia sudah melihat bagaimana kau mengalahkan orang-orang ini! Bukan kau yang seharusnya takut, tapi dia! Dia takut dan juga payah! Dia tidak sehebat yang kau duga. Cepat! Kejar dia!" 

Tatapannya berkobar-kobar menahan emosi. Lalu setelah beberapa saat, begitu ia sadar William belum mau menuruti permintaannya, suaranya merendah hampir seperti memohon, "Bunuh dia ..."

Rahang William mengeras, kepalanya menggeleng tanpa ragu. 

"Tidak. Dia bukan musuhku, dan aku juga bukan musuhnya. Kau musuhnya! Kau yang dia incar, entah kenapa alasannya aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu. Aku tidak ada hubungannya dengan ini semua!"

Rogas tertegun. "Tidak ada hubungannya? Astaga, kau ini benar-benar bocah tolol rupanya!"

"Aku hanya membantumu tadi! Cuma itu!"

"Ya, kau telah membantuku, terima kasih!" tukas Rogas. "Tapi apa kau pikir setelah ini kau bisa pulang ke rumah, hidup tenang dan berpura-pura semua ini tidak pernah terjadi? Kau dan gadis ini berpikir seperti itu?"

William memandangi Muriel yang juga tengah menatapnya. 

Melihat wajah Muriel yang ketakutan pemuda itu gelisah. Rasa takutnya muncul. Gambaran kejadian buruk yang mungkin terjadi nanti membayangi benaknya. Tentu saja! William sudah membunuh beberapa orang malam ini. Apakah dia benar-benar berharap setelah kejadian ini semuanya akan baik-baik saja?

Rogas menggeleng-gelengkan kepalanya kesal. "Mulai malam ini Mornitz sudah menganggapmu sebagai musuh. Berkat kebodohanmu, dia berhasil selamat. Suatu hari nanti dia akan datang mencarimu, ke rumahmu, dengan membawa lebih banyak orang. Dan kau pikir nanti dia datang hanya untuk berkunjung atau memesan pedang? Tidak! Dia akan datang untuk membunuhmu! Kau mengerti? Satu-satunya cara sekarang, kalau kau ingin selamat, adalah pergi dari kota ini. Menghilang sampai entah berapa lama, sampai akhirnya dia melupakanmu, atau tidak peduli lagi padamu!"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now