Bab 75 ~ Pertempuran Terakhir

214 90 4
                                    

Vilnar mengamati kondisi alam di sekitarnya. Letak bebatuan, pepohonan, tinggi rendah dataran, dan juga arah kelokan sungai.

Tidak begitu sempurna untuk melakukan penghadangan atau penyergapan, tapi tidak buruk. Ada beberapa batu besar yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Selain itu sungai yang sedikit menyempit di tengah hutan juga akan membuat perahu-perahu panjang lebih sulit untuk melakukan manuver. Mereka tak akan bisa bergerak bebas. Vilnar akan menggunakan semua faktor itu sebagai kekuatannya.

Secepatnya ia memanjat naik ke dataran yang lebih tinggi dan bersembunyi di balik batu besar di bibir tebing.

Tak lama orang-orang yang ditunggunya terlihat di kejauhan. Seperti dugaannya, ada tiga perahu panjang yang bergerak beriringan, masing-masing berisi sepuluh orang.

Vilnar mengenali wajah hampir setiap prajurit itu. Mereka rekan-rekannya dari Vallanir. Sebagian bahkan pernah bertempur bersamanya. Vilnar mengetahui keterampilan mereka, sebagaimana mereka juga seharusnya paham dengan siapa mereka harus berhadapan saat ini.

Ketiga perahu tersebut hampir melewati batu besar tempat Vilnar bersembunyi. Suara komando terdengar dari perahu yang paling belakang.

"Cepaaat! Kita harus bisa menangkap mereka sebelum malam tiba!"

Itu suara Tarnar. Ia duduk paling belakang di perahu yang ketiga.

Begitu melihat wajah kakaknya itu Vilnar tak bisa lagi menahan amarah. Ia kini hanya butuh satu tanda lagi untuk meyakinkan diri, bahwa mereka kemari karena memang hendak mencelakai ia dan keluarganya.

Ia bergegas naik ke atas batu besar, lalu berdiri tegak di sana dan berseru, "Vallanir! Kalian mencari Vilnar? Aku ada di sini!"

Para prajurit terkejut. Mereka menoleh ke kiri dan mendongak ke atas batu besar. Sosok Vilnar tampaknya menggetarkan mereka. Kapak perangnya yang berkilauan terkena cahaya matahari menembus rimbunan pepohonan.

"Awaaas! Itu Vilnaaar!"

Seluruh prajurit panik, mereka melepaskan dayungnya dan berdiri. Mereka kemudian mencabut pedang yang tergantung di pinggang masing-masing.

Itulah tanda terakhir yang Vilnar butuhkan. Tak perlu lagi penjelasan apa pun. Sukunya sendiri telah memusuhinya. Kini ia akan menghabisi mereka.

Ia berkata pedih dalam hati, "Ayah, maafkan aku, kini aku harus melawan mereka! Teman-temanku! Suami dan ayah dari rakyatku sendiri!"

"HEEAAAA!!!" Dengan segenap amarah bercampur sedih tak terkira Vilnar meloncat turun ke perahu pertama sambil mengayunkan kapaknya.

Teriakan panik dan jerit kematian terdengar sahut-menyahut begitu Vilnar mengayunkan kapaknya. Potongan tubuh terlontar ke sana kemari, pedang serta kapak terlempar ke sana sini. Vilnar mendarat di atas perahu dan menembus barisan para prajurit yang menghadangnya dari depan ke belakang.

Sementara Vilnar menghabisi musuh di perahu pertama, prajurit di dua perahu lainnya mendekat. Tapi ketika perahu kedua akhirnya merapat, Vilnar sudah menyelesaikan serangannya di perahu pertama.

Meninggalkan korban-korbannya mati bersimbah darah di atas perahu, atau tenggelam di sungai, tanpa jeda ia melompat lagi, kali ini ke perahu kedua. Vilnar memperoleh banyak luka, tapi kemarahan dan nafsu membunuh menutupi seluruh rasa sakit dan takutnya.

Ia memutar-mutar kapaknya, sama sekali tidak membuang waktu untuk menangkis atau memberi ampun. Semakin cepat ia menghabisi musuh-musuhnya akan semakin baik. Akibatnya ia menerima banyak sabetan pedang di dada, punggung dan kakinya.

Ketika ia melihat tak ada lagi lawannya yang tersisa di perahu kedua, ia pun mengincar perahu ketiga. Letak perahu itu agak jauh. Para prajurit di sana melemparkan beberapa buah pisau ke arahnya. Ia berhasil menghindar dan menangkis satu, dua, tiga buah pisau, tapi pisau yang keempat menghantam dada kirinya.

Vilnar merasakan sakit yang amat luar biasa, membuat kemarahannya justru makin meluap. Ia mengangkat kapak besarnya dan melemparkannya tepat ke kumpulan musuh-musuhnya yang terakhir.

"Hoaaahhh!" Kapak itu memotong kaki seorang prajurit dan langsung membelah perahu menjadi dua bagian.

Tarnar dan para prajurit di perahu itu panik, begitu melihat air meluap masuk membanjiri perahu mereka.

Vilnar mencabut pisau di dadanya, kemudian mendayung perahu kedua mendekati mereka. Dibantu oleh arus sungai yang mengalir ke utara, perahunya meluncur deras ke arah perahu musuhnya yang hampir tenggelam.

Beberapa prajurit yang ketakutan meloncat ke sungai, sementara beberapa yang lainnya nekat melompat ke arah Vilnar sambil mengayunkan pedang mereka.

Vilnar meraih dua buah pedang yang tergeletak di dekatnya, menangkis serangan mereka dan balik menghabisi mereka satu demi satu.

Selesai dengan yang ada di atas perahu, ia membacok kepala mereka yang berenang di sekitarnya, tak menyisakan nyawa satu pun. Ia benar-benar tidak memberi ampun.

Tiba-tiba, sebuah ujung pedang menghunjam telak pinggangnya. Vilnar mengerang dan memutar tubuh. Begitu melihat wajah Tarnar, kemarahan menutup rasa sakitnya.

Dengan pedang di tangan kirinya Vilnar memotong tangan Tarnar yang masih memegang pedang, lalu pedang di tangan kanannya menusuk perut kakaknya itu. Keduanya roboh bersimbah darah.

Saat itulah Vilnar sadar, bahwa hanya tinggal mereka berdua yang masih hidup di tempat itu. Vilnar menahan rasa sakitnya dan berusaha duduk dengan susah payah. Ia mengangkat pedang bersiap untuk memenggal kepala Tarnar.

Namun saat melihat wajah kakaknya yang sekarat ia menunda sabetan terakhirnya.

Dengan napas terputus-putus Vilnar berkata lirih, "Tarnar ... kakakku. Saat aku, ... istriku dan anakku pergi dari desa, kami telah menghilangkan seluruh dendam dan rasa sakit di hati kami. Kami hanya ingin hidup tenang di rumah kami di selatan. Kami tak akan bisa membahayakan hidup kalian lagi. Tapi ... mengapa kau tetap mengejar kami? Mengapa sampai sejauh ini kau membenciku? Sebelumnya kau menyuruh orang untuk membunuhku di utara, sekarang kau pergi sendiri kemari, hanya untuk membunuhku? Tolong, beri aku jawaban sebelum membunuhmu, Tarnar! Mengapa kau begitu membenciku?"

Tarnar terengah-engah, lalu menyeringai lemah. "Kau salah, adikku. Kebencianku padamu tidak pernah lebih besar daripada kebencianmu kepadaku. Hanya saja aku melakukan apa yang harus kulakukan, sementara kau selalu menghindar."

"Kau memang pantas mati!" Vilnar mengangkat lagi pedangnya.

"Tunggu," potong Tarnar sambil berusaha mengangkat tangannya. "Tunggu. Aku tetap akan mati di sini. Kau tak perlu repot-repot memenggalku. Aku cuma ingin kau tahu, bukan aku ... yang mengirim orang untuk membunuhmu di utara."

Mata Vilnar memicing. "Apa?"

Tarnar meringis menahan sakit. "Penyergapan terhadapmu di utara, ... aku sama sekali tak tahu, bahkan aku mengira kau cuma mengarang cerita itu, Vilnar."

"Jangan bohong lagi, Tarnar!"

"Buat apa aku bohong? Sebentar lagi aku mati." Tarnar tertawa lemah. "Bukan aku musuhmu yang sebenarnya, Vilnar. Bukan aku."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now