Bab 57 ~ Sumpah Setia

259 89 1
                                    

Minuman adalah alat perkenalan yang baik bagi orang-orang yang masih belum mengenal satu sama lain. Membuat Vilnar bisa merasa lebih akrab dengan Fabien maupun Claude, walaupun ia belum mengerti kata-kata yang mereka ucapkan.

Tentu saja akan lebih bagus kalau tidak ada penghalang bahasa sama sekali. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan oleh Vilnar pada mereka, tentang dunia yang lebih luas di luar sana.

Mungkin ia akan mendapat kesempatannya nanti.

Tak lama, Walter keluar dari dalam rumah, dan Ailene ikut datang di sampingnya. Gadis itu masih terpincang-pincang, tapi tampaknya kondisi kakinya sudah membaik. Bebatnya sudah diganti dengan kain yang lebih bersih.

Vilnar dan Ailene saling menatap. Raut wajah gadis itu masih sulit ditebak. Apakah dia senang mendengar pesan dari Vilnar tadi? Atau tidak?

"Ailene ingin memberikan jawabannya langsung padamu," kata Walter.

Ailene memandang Vilnar tanpa berkedip, lalu dengan tenang mengucap beberapa kata.

Vilnar memandanginya, bingung. Ia menoleh pada Walter, dalam hati bertanya-tanya apa yang sebenarnya dikatakan oleh Ailene.

Ia heran ketika kemudian Fabien dan Walter malah tertawa. Bahkan Claude yang selama ini kelihatan tidak peduli ikut menyeringai pula.

"Baiklah," akhirnya Walter berkata setelah puas melihat Vilnar kebingungan. "Ailene bilang kau orang yang sangat baik, tetapi menurutnya, sebaiknya kau mencukur kumis dan janggutmu yang tebal itu, supaya ia bisa melihat wajahmu dengan lebih baik."

"Oh, ini?" sahut Vilnar sambil memegangi janggutnya. "Tidak masalah."

"Tapi itu bisa nanti saja, setelah kalian menikah."

Jantung Vilnar seolah berhenti, lalu berdesir kencang.

"Apakah itu ... berarti dia setuju?" tanyanya ragu.

"Ya. Ia sangat berbahagia sekarang."

Vilnar tersenyum lebar, lega luar biasa.

Ia hampir tak percaya. Tak pernah terpikir olehnya bahwa hari yang tadinya mengerikan semacam ini ternyata bisa berakhir dengan begitu indah!

Ia menatap gadis di depannya lekat-lekat, lalu mengangguk gugup.

"Terima kasih ... Terima kasih, Ailene."

Mata Ailene berkaca-kaca. Perlahan tangan mungilnya meraih jemari Vilnar. Dada Vilnar bergemuruh. Ia, lelaki yang terbiasa hidup dengan kapak, yang tak pernah menangis seumur hidupnya, kini tak mampu menahan emosi.

Ia menarik tubuh Ailene, mencium dahinya dan memeluknya erat-erat, merasakan tubuh gadis itu bergetar dalam pelukannya.

Esoknya, pagi-pagi sekali di tepi sungai Vilnar mencukur habis kumis dan janggut emasnya dengan belati.

Sebenarnya Ailene meminta Vilnar bercukur setelah menikah, tapi Vilnar berpikir sebaiknya ia melakukannya sebelum itu. Ini hari terbaik dalam hidupnya, jadi tentu saja sebaiknya ia melakukannya sekarang supaya ia bisa tampil sempurna.

Sambil menatap bayang mata birunya di permukaan sungai ia berharap penampilannya akan sepadan dengan Ailene, walaupun mereka sangat berbeda. Rambut hitam dan rambut emas. Mungil dan jangkung. Si cantik dan si buas. Mereka berbeda.

Tapi, buat apa dipikirkan? Vilnar percaya Ailene benar-benar mencintai dirinya, sebagaimana ia mencintai gadis itu dengan sepenuh hatinya.

Di tepi Sungai Ordelahr, diiringi nyanyian burung-burung yang bertengger di pucuk pepohonan, mereka menikah, dengan Fabien bertindak sebagai penghulu. Vilnar bersumpah pada Dewa Angin, sementara Ailene kepada semacam tuhannya. Keduanya mengucap sumpah setia, sebuah janji untuk saling mengikat jiwa dan hati sampai akhir masa.

Setelah ritual sederhana itu mereka makan siang bersama.

Saat makan Walter berkata, "Vilnar, orang-orang Hualeg sudah tidak mengancam lagi, paling tidak sampai musim panas kali ini. Jadi kami akan pergi ke selatan. Claude bilang, sepertinya sedang terjadi sesuatu di sana, dan kami harus membantu banyak orang."

"Dia bisa tahu dari mana kejadian di selatan?" tanya Vilnar sambil memandangi Claude, yang walaupun ekspresi wajahnya tetap kaku, tetapi sudah kelihatan lebih ramah. Lalu Vilnar mengangguk-angguk. "Ah, ya, melalui suara-suara bintang, kurasa."

Walter tertawa. Ia menyampaikan hal itu pada kedua saudaranya, Fabien ikut tertawa, sementara Claude menyeringai. Ailene ikut tersenyum.

Vilnar menatap ketiga pemuda asing itu, lalu teringat sesuatu.

Ragu-ragu ia bertanya, "Tentang tawaran kalian, mengenai kekesatriaan, apa masih berlaku?"

"Ah ... kukira kau tidak tertarik," kata Walter. Ia berbicara dengan Fabien yang lalu mengucap beberapa kata, sebelum melanjutkan, "Kakakku gembira jika kau memang berniat menjadi kesatria. Kalau setuju kau bisa menjadi saudara kami hari ini juga."

"Hm. Apa berarti aku harus pergi bersama kalian?" tanya Vilnar ragu. Ia melirik Ailene di sampingnya. "Kalau harus seperti itu, mungkin aku belum bisa. Dan juga aku tidak tahu sedikit pun mengenai kekesatriaan."

"Kau tidak perlu ikut dengan kami sekarang. Malah, sebenarnya bagus jika kau bisa menjadi kesatria di antara rakyatmu sendiri. Sebagai kesatria, yang penting bukanlah siapa dirimu, tetapi apa yang kau perbuat. Cukup tegakkan saja hal-hal berikut dalam hidupmu. Kebenaran, keadilan, kehormatan, kesetiaan.

"Hal pertama sampai ketiga telah kau tunjukkan lewat tindakan dan ucapanmu sejauh ini. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, tetapi menurut kami, nilai-nilainya sudah ada di dalam dirimu, jadi kami tak perlu mengajari apa-apa. Kau sendirilah yang nanti akan belajar lebih jauh lewat hidupmu sendiri.

"Sementara yang keempat, kesetiaan; pada saat saudara-saudaramu nanti membutuhkan, kami harap kau bisa membantu dengan sepenuh hati tanpa ragu, yang kami rasa itu juga bukan hal sulit.

"Jika kau setuju, kau tinggal bersumpah, bahwa kau akan menjalankan semuanya dengan teguh sepanjang hidupmu. Sayangi dan lindungi orang-orang yang lebih lemah di sekelilingmu. Kau punya kekuatan yang besar. Jangan salah gunakan itu."

"Aku mengerti," Vilnar setuju setelah ia menyelami kalimat-kalimat panjang Walter. "Kalau memang menurut kalian aku sudah bisa, aku siap."

Maka siang itu Vilnar diangkat menjadi Kesatria Keempat di Kuil Kesatria. Ia berlutut, membiarkan Fabien menepuk keras bahu kiri dan kanannya dengan sebilah pedang.

Vilnar mengikuti kata-kata kesatria itu, bersumpah akan selalu tunduk pada empat nilai kekesatriaan: kebenaran, keadilan, kehormatan dan kesetiaan.

Setelah upacara selesai Walter lalu berkata sebagai penutup perjumpaan, "Kita berpisah sekarang, Vilnar, tetapi tempat untukmu sekarang sudah tersedia di kuil kami di Gunung Hohn. Datanglah, kalau kau sempat. Kami akan menyambutmu dengan gembira, karena sekarang kau sudah menjadi bagian dari kami. Saudara kami."

Vilnar mengangguk. Ya, rasanya ia akan pergi ke sana suatu hari nanti.

Ia melambaikan tangannya pada ketiga kesatria yang mendayung menuju selatan.

Sesaat kemudian, begitu ia menoleh ke belakang dan memandangi wajah istrinya, ia berpikir, apakah nanti ia benar-benar bisa pergi ke Kuil Kesatria dan berjuang bersama saudara-saudaranya yang baru?

Tiba-tiba ia merasa tidak yakin. Penyebabnya bukan karena istrinya, tetapi karena sesuatu yang lain. Ia adalah orang utara—walaupun kadangkala ia mulai ragu mengenai hal itu—dan sebagai orang utara, bukankah tempatnya seharusnya ada di sana, bukan di selatan seperti orang-orang ini?

Northmen SagaWhere stories live. Discover now