Bab 76 ~ Harapan

218 85 9
                                    

Vilnar menatap kakaknya sambil termenung. Berbagai macam hal kini muncul di benaknya. Tarnar mungkin benar. Kelihatannya dia tidak bohong. Dia sudah di ujung maut, tak mungkin berbohong lagi. Ya, lelaki yang selama ini dibencinya bisa jadi kini adalah orang yang paling bisa dipercayainya.

Tetapi jika itu benar, apakah berarti perkiraannya selama ini salah?

Bukan Tarnar musuhnya yang sebenarnya?

Vilnar menggeleng-gelengkan kepala. Seluruh luka di tubuhnya kini terasa sakit seiring luka yang menghunjam di hatinya.

Ia berarti lirih, "Berarti tinggal Erenar ... yang mungkin ...?"

Tarnar tersenyum kecut, saat ikut menyadari. "Erenar, ya?"

"Apa kau berbicara dengannya sebelum mengejarku kemari?"

Tarnar menerawang. "Ya. Setelah kupikir-pikir kurasa memang dia yang menghasutku agar mengejarmu. Padahal sebelumnya aku sudah cukup senang ketika pagi hari setelah kepergianmu aku diangkat menjadi kepala suku."

Vilnar mencibir. "Jadi kau kepala suku sekarang?"

"Begitu yang kutahu." Tarnar tertawa lagi. "Tapi kemudian Erenar berkata bahwa kau pasti akan membalas dendam suatu hari nanti, jadi sebaiknya kau dibereskan segera. Aku terpengaruh ucapannya, dan membawa tiga puluh prajurit. Kupikir itu sudah cukup untuk mengalahkanmu, tapi rupanya aku memang tak pernah bisa mengenalmu dengan baik."

"Bodoh kau, Tarnar. Erenar menghasutmu kemari supaya kau mati! Erenar mengenalku lebih baik daripada kau. Ia tahu kau dan para prajurit yang hanya sebanyak ini tak akan mampu melawanku, dan akan mati semuanya di sini! Ia mengharapkan kita berdua mati saling membunuh! Kau mengerti?!"

"Dan setelah itu dia menjadi kepala suku?" Tarnar tertawa. "Dia memang pintar, dan aku bodoh. Seluruh kata-katanya selama ini ... tipuan belaka."

Vilnar mengangguk lemah. Perlahan ia merebahkan tubuhnya di perahu, bersebelahan dengan Tarnar. Kedua bersaudara yang tengah sekarat itu, yang biasanya saling membenci, kini tertawa, menertawai kebodohan mereka.

"Kau pikir Erenar sudah merencanakan ini sejak awal?" Tarnar bertanya.

"Maksudmu, tentang apa yang terjadi pada Kronar, atau Ayah?" Vilnar menggeleng. "Aku tak tahu. Mungkin tidak. Tapi yang jelas keberuntungan telah berpihak padanya."

"Berarti para dewa memang berpihak padanya." Tarnar tertawa lagi, hingga darah mengucur dari mulutnya. "Keberuntungan adalah pertanda dari para dewa."

"Aku tidak percaya!" Vilnar membantah. "Ia melanggar aturan para dewa. Ia menang sekarang, tapi suatu hari nanti para dewa akan menghukumnya!"

"Yang bisa kulihat sekarang, itu bukan urusan kita lagi. Setidaknya, bukan lagi urusanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan," Tarnar berkata, dan Vilnar memperhatikan. Saat mendekati maut, kakaknya itu tampak jauh lebih bijak daripada biasanya.

Tarnar melanjutkan, "Kau selalu mengira aku orang yang picik dan sombong, tapi saat ini ... aku merasa tenang setelah memahami semuanya. Aku tidak dendam pada Erenar, dan kuharap kau juga bisa melakukan hal yang sama, adikku."

"Apa maksudmu?" tanya Vilnar dengan suara lemah.

"Kau jauh lebih kuat daripada aku, Vilnar. Kau masih bisa bertahan dengan luka-lukamu yang besar itu. Orang lain pasti sudah lama mati. Gunakan sisa tenagamu untuk menyusul istri dan anakmu, dan lupakan Erenar, ... selamanya."

Vilnar termenung. Melupakan ini semua? Ya, mungkin itu bisa ...

Tapi menyusul Ailene dan Vahnar? Bisakah?

"Bagaimana denganmu?" tanya Vilnar.

"Turunkan aku di tepian," Tarnar menunjuk. "Biarkan saja pedang di perutku ini. Kalau aku sudah tak tahan, akan kucabut sendiri, dan selesailah semuanya."

Vilnar menggeleng. "Aku tak bisa meninggalkanmu seperti ini."

"Jangan terus menjadi orang bodoh, Vilnar!" suara Tarnar tiba-tiba meninggi. "Inilah waktunya kau melakukan apa yang seharusnya kau lakukan!"

"Baiklah." Akhirnya Vilnar mengangguk setuju.

Dengan susah payah ia mendayung ke tepi sungai. Ia menggendong tubuh kakaknya dan meletakkannya di rerumputan. Darah mengucur deras di pinggang Vilnar, bercampur dengan darah yang mengalir dari perut Tarnar.

Memandangi kakaknya, Vilnar berkata lagi, "Tarnar, aku menyesal ... atas semua yang telah terjadi pada kita. Seharusnya tidak seperti ini."

"Aku akan segera berkumpul bersama Ayah dan Kronar dan seluruh prajurit hebat lainnya di langit. Semoga ... semoga mereka mau menerimaku. Pergilah." Tarnar melambaikan tangan.

Vilnar mengangguk sambil membalas lambaian kakaknya, lalu meninggalkannya dengan hati pedih. Ia mulai mendayung perahunya.

Awalnya Vilnar hanya bisa mendayung dengan lambat, tetapi begitu teringat istri dan anaknya ia mengumpulkan seluruh semangat dan tenaganya yang tersisa. Tidak mudah mendayung seorang diri di atas perahu panjang, apalagi dengan kondisi terluka parah. Namun ia terus memaksakan diri.

Harapan. Ia masih punya harapan untuk mengejar mereka berdua.

Selama ia masih hidup, harapannya tidak akan mati. Tak peduli berapa banyak darah yang tumpah, selama masih memiliki tenaga, dan harapan, ia akan terus mendayung.

Mendayung melewati siang, bergerak mengarungi malam. Awalnya ia duduk mendayung dengan cara biasa. Ketika tubuhnya semakin lemah, ia lalu mendayung sambil berbaring.

Namun Vilnar tak kunjung mencapai perahu istri dan anaknya.

Ketika fajar tiba, akhirnya ia berhenti, tak mampu lagi melawan. Dayungnya telah hilang terbawa arus. Tenaganya habis, tak bisa lagi untuk menggenggam dayungnya itu.

Air mata meleleh di pipinya, tapi ia tersenyum.

Ia tidak lagi sedih, malah bahagia sepenuhnya. Jika ia tidak berhasil menyusul perahu istri dan anaknya, itu artinya mereka berdua telah pergi jauh ke selatan. Ia gembira membayangkan bahwa istrinya Ailene, kini telah menjadi wanita yang kuat, mampu mendayung jauh seorang diri.

Tak ada lagi yang perlu diragukan, Ailene akan mampu membawa putranya sampai ke rumah mereka di selatan, dan mereka berdua akan hidup bahagia selamanya di sana.

Vilnar merasakan cahaya matahari pagi menembus pepohonan menyinari wajahnya. Tak ada lagi kehangatan seperti biasanya. Bahkan sebenarnya tak ada lagi yang lain yang bisa ia rasakan. Seluruh tubuhnya sudah mati rasa.

Ia teringat ucapan Radnar ayahnya. Dia bilang, ketika waktunya hampir tiba, dia bisa merasakannya. Vilnar tahu, waktunya juga telah tiba. Ia merasakannya.

Ia memejamkan mata. Sendirian di atas sungai, jauh di dalam hutan, ia menyerahkan diri.

Dalam gelap, ia melihat istri dan anaknya tersenyum padanya.

Vilnar menarik napasnya yang terakhir, dan membalas senyuman mereka.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now