Bab 65 ~ Bau Kematian

241 81 1
                                    

Radnar belum mau menanggapi Tarnar dan kembali bertanya pada Kronar, "Bagaimana perkiraanmu, hasilnya nanti?"

"Tergantung sejauh mana mereka ingin melawan kita." Kronar menatap berkeliling. "Jika mereka mundur setelah gelombang pertempuran pertama, jumlah tewas atau luka-luka di kedua belah pihak mungkin tidak akan mencapai seratus orang. Tapi jika mereka benar-benar ngotot dan tak mau menyerah, jika mereka benar-benar ingin mengadu nyawa, ini bisa menjadi pertempuran paling berdarah yang pernah kita alami selama ini."

Radnar mendesah dan menggeleng-geleng semakin kesal. "Aku tidak menyukai ini. Seharusnya tidak sampai seperti ini ..."

"Vilnar bisa membantu kita, kalau dia mau ikut." Kronar melirik ke arah Vilnar yang masih membisu sejak awal pertemuan.

Semua orang menatap Vilnar. Di sudut ruangan Vilnar duduk dengan tangan bersilang, hampir tak pernah bergerak sejak ia datang tadi.

Melihat bahwa semua orang menunggunya berbicara, ia akhirnya menjawab, "Kakakku, kau menginginkan tanganku untuk membunuhi musuh-musuh kita?"

Beberapa orang tertegun mendengar jawaban itu. Radnar tampak menghela napas, Tarnar menyeringai, sementara kening Erenar berkerut.

Kronar menatap Vilnar dalam-dalam. "Vilnar, aku tidak melulu bicara soal bunuh-membunuh. Aku bicara soal reputasimu di masa lalu yang mungkin bisa membantu kita. Musuh-musuh kita takut padamu. Begitu mereka tahu kau sudah pulang, lalu muncul tiba-tiba di hadapan mereka dan menyerang pada serangan pertama, mereka pasti gentar dan memilih mundur. Tidak akan ada pertempuran panjang, dan kau bisa menyelamatkan banyak nyawa."

"Kronar, kau serius? Ucapanmu tidak seperti Kronar yang kukenal." Tarnar tertawa keras mengejek kakaknya. "Biasanya kau tak pernah ragu membunuh musuh-musuhmu. Kau selalu ingin bertempur selama mungkin dan membunuh sebanyak mungkin. Mengapa tiba-tiba jadi lembek begini?"

Wajah Kronar berubah garang. Tangannya menunjuk ke wajah adiknya. "Tidak usah macam-macam! Bukan cuma nyawa musuh yang kita bicarakan, tapi juga nyawa para prajurit kita! Pernahkah kau mempedulikan itu? Hah?"

"Hei, kenapa kita bertengkar?" Erenar coba menengahi. "Kurasa kita semua tidak ada yang salah. Kronar benar, Tarnar juga benar, Vilnar juga benar—"

"Diam, Erenar!" tukas Tarnar yang kini kelihatan kesal. Ia berdiri dan maju ke depan, menatap semua orang. "Ada apa dengan kalian? Aku bicara apa yang seharusnya dibicarakan di sini. Kita hendak berperang! Kita seharusnya bicara dengan penuh semangat. Harusnya kita berteriak 'bunuh! bunuh! bunuh!'. Itulah yang ingin didengar para prajurit! Sementara kita berbicara panjang lebar, musuh semakin dekat. Apa lagi yang kita tunggu?"

Semua orang terdiam. Kebanyakan dari mereka tampaknya setuju dengan pendapatnya. Beberapa orang mengangguk-angguk. Hal itu membuat Tarnar semakin percaya diri dan tak bisa menjaga mulutnya.

Ia menyeringai ke arah Vilnar, menunjuk. "Jika memang Vilnar sudah kehilangan nyalinya setelah pergi selama bertahun-tahun, kenapa kita harus paksa dia? Tidak akan ada yang menyalahkannya jika ia tidak ikut."

"Tarnar!" Kronar menggeram. "Kau memang bodoh!"

Sementara Vilnar tak bisa lagi menahan amarahnya. Ia menatap bengis ke arah Tarnar. "Begitu menurutmu? Kau mau melihat darah? Kau benar-benar mau dan punya nyali melihat darah musuhmu di medan perang, bukan cuma darah wanita dan anak kecil yang kau bunuh di selatan? Baik, akan kuberikan kau darah! Kau cukup membuntutiku di belakang, tidak usah repot-repot mengayunkan pedang dengan kemampuanmu yang seperti anak kecil. Biar aku yang mengerjakan semuanya. Akan kuberikan darah kepadamu!"

Kini ganti wajah Tarnar yang memerah. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Mungkin ia marah, malu, benci; Vilnar tak peduli. Tarnarlah yang pertama kali menghina Vilnar, dan kini Vilnar balik menghinanya. Vilnar tahu kebencian Tarnar padanya akan semakin memuncak, tapi sekaligus juga gentar. Tarnar mundur dua langkah seolah-olah terdorong oleh tatapan garang Vilnar.

Vilnar tahu reputasinya. Tidak ada orang Hualeg yang tidak gentar jika melihat amarahnya yang mulai meluap, termasuk semua orang yang ada di ruangan ini. Kecuali mungkin satu orang: Radnar.

Ketika Vilnar melirik ke arah ayahnya itu, ia justru merasakan sesuatu yang lain. Laki-laki tua itu tampak khawatir.

Radnar berdiri susah payah dan mengangkat tangannya dengan sedikit gemetar. "Anak-anakku, tolong aku, aku tidak ingin melihat ada pertengkaran di antara kalian. Kalian semua prajurit hebat. Tak ada yang bisa menandingi kalian. Jika kalian bersatu, musuh-musuh kita akan gentar. Dengarkan kata-kataku. Kronar, aku mempercayakan adik-adikmu dan seluruh prajurit padamu. Aku percaya pada seluruh keputusanmu."

"Ya, Ayah. Jangan khawatir. Aku akan melakukan yang terbaik."

Radnar melanjutkan, "Tarnar, Erenar, ikuti seluruh perintah kakakmu. Ini akan menjadi pertempuran besar kalian yang pertama, yang jauh lebih besar daripada semua pertempuran yang pernah kalian rasakan sebelum ini. Belajarlah dari pengalaman ini. Ini kesempatan kalian."

"Ya, Ayah." Tarnar dan Erenar mengangguk.

Radnar menarik napas lega, tampaknya senang melihat situasi menjadi tenang kembali. Ia duduk lagi di kursinya. "Dan kau, Vilnar, semua orang tahu kau adalah prajurit terhebat di Hualeg. Kehadiranmu di medan perang bisa membuat banyak perbedaan. Tapi kau tidak ikut. Tidak ada yang meragukan kemampuanmu, tapi ... kau pasti mengerti. Lagi pula kau baru saja datang, lebih baik menemaniku di sini. Kau mengerti?"

"Tentu saja, Ayah." Vilnar mengangguk sopan.

Radnar akhirnya bisa tersenyum lagi. "Sekarang aku bisa tenang melepas kalian. Lupakan seluruh pertengkaran, dan ingat tujuan bersama kalian. Mari kita berdoa semoga para dewa memberkati kita dengan kemenangan."

Ia membubarkan pertemuan.

Kronar kemudian mengumpulkan seluruh prajurit di depan balai desa. Pada saat bersamaan, saat mereka sedang mempersiapkan senjata dan baju perang, pasukan dari suku Brahanir juga datang bergabung dengan mereka. Jumlah mereka seratus orang, sehingga total kini ada empat ratus prajurit dari dua suku yang berkumpul di tengah desa.

Seluruh prajurit lalu berbaris rapi lengkap dengan senjata masing-masing. Pradiar sang dukun membaca mantra-mantra dan mencipratkan air suci ke wajah seluruh prajurit, lalu berdoa agar Odaran, Anthor dan dewa-dewa lainnya memberi mereka kekuatan untuk menghancurkan musuh. Seluruh penduduk desa berdiri di sekeliling mereka ikut berdoa, membuka tangan ke arah langit, memohon pada seluruh dewa.

Para prajurit berjalan penuh semangat kala meninggalkan desa. Tombak, pedang atau kapak di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Keyakinan terpancar jelas di wajah mereka semua, juga di wajah para penduduk.

Namun Vilnar yang berdiri di samping Radnar melihat wajah sedih ayahnya, yang kali ini tak bisa lagi disembunyikan.

Apakah ayahnya khawatir mereka akan kalah?

Ataukah lebih dari itu?

Apakah ia tengah mencium bau kematian yang datang bersama angin dari Dunia Orang Mati?

Hati Vilnar berubah gundah. Ia mulai mempertanyakan keputusan ayahnya yang tidak mengizinkannya ikut dalam pertempuran. 

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang