Bab 59 ~ Keputusan Penting

239 91 1
                                    

Tak ada yang perlu ditakutkan.

Vilnar bergegas mendekati Kronar. Kakak sulungnya itu meninju bahunya keras-keras. Vilnar membalas dengan tinjunya pula, lalu keduanya berpelukan dan tertawa terbahak-bahak.

Kronar mengajak Vilnar duduk untuk makan bersamanya.

"Sudah empat tahun kau pergi," kata Kronar. "Ke mana saja kau? Apa yang terjadi? Kenapa tidak pulang setelah masa hukumanmu selesai, hah? Kami semua menunggumu. Kau tahu, aku tak pernah setuju dengan hukuman yang diberikan Ayah padamu. Menurutku semua itu bukan sepenuhnya salahmu!"

Vilnar mengangkat bahu sambil menyeka sisa makanan yang menempel di mulutnya. "Soal itu tidak usah dipikirkan lagi. Aku justru senang bisa pergi ke selatan. Sejujurnya aku betah tinggal di sini." Kronar menatap dengan sorot mata heran saat Vilnar berkata, sepertinya tak percaya. "Tapi jangan khawatir, suatu hari nanti aku pasti akan pulang. Mungkin musim panas berikutnya."

"Kenapa menunggu tahun depan? Kau tak ingin pulang bersamaku?"

Vilnar menatap kakaknya, berusaha memikirkan jawaban yang pas.

Ia melirik dua prajurit lain yang juga tengah memandangnya dengan rasa ingin tahu. "Kenapa harus pulang sekarang?" balasnya. "Apakah ada hal yang mendesak atau penting sekali?"

"Ayah ingin kau pulang. Ia sakit-sakitan."

Vilnar terdiam. Terus terang ia terkejut mendengar berita itu, walaupun sejak dulu ia telah memperkirakan hal ini, karena ayahnya memang sudah tua. Namun ia tak ingin menunjukkan keterkejutannya begitu saja di depan orang lain, termasuk di depan kakaknya.

Ia selalu mencintai ayahnya, walaupun ayahnya itulah yang telah memberi hukuman padanya. Vilnar tahu ayahnya dulu tak punya pilihan. Vilnar selalu rindu padanya, apalagi kalau benar ayahnya kini sakit-sakitan.

Namun haruskah ia pulang sekarang? Bagaimana nanti dengan Ailene dan juga putranya? Apakah ia harus membawa mereka ke utara, jauh ke negeri yang dingin dan asing buat mereka?

Rasanya tidak mungkin. Mungkin bisa, tapi pasti sulit dilakukan.

Vilnar berkata dengan hati-hati, "Aku sangat ingin pulang menjenguk Ayah. Tapi ... kurasa nanti saja. Ada beberapa hal yang harus kulakukan terlebih dahulu."

"Hmm. Kau terlibat masalah?"

Vilnar menggeleng. "Bukan apa-apa."

Kronar manggut-manggut, memperhatikannya. "Ya sudah, bereskan urusanmu. Kami akan menunggu sampai kau menyelesaikan semua masalahmu, lalu kita pulang bersama."

"Tidak usah, ini bukan masalah besar." Vilnar mengelak. "Aku takut nanti terlalu lama buat kalian. Kakak pulang saja dulu ke uatara. Aku akan menyusul kalian nanti."

"Kau yakin?" Kronar masih terus menatapnya dengan pandangan menyelidik. "Ini bukan sesuatu yang perlu aku tahu sekarang? Aku kakakmu, aku bisa membantumu!"

Vilnar balik menatap kakaknya, lalu menjawab, "Kakak, aku selalu jujur padamu. Tetapi ini adalah satu hal yang belum bisa kukatakan padamu saat ini. Aku berjanji akan mengatakannya nanti, saat tiba waktuku kembali ke desa."

Termangu beberapa saat, akhirnya Kronar mengangguk-angguk. "Baik, aku selalu percaya kata-katamu, lebih daripada ucapan semua orang lain."

"Terima kasih." Vilnar lega melihat tanggapan kakaknya yang tak memaksa. "Sampaikan saja salamku pada Ayah. Bilang padanya, aku pasti datang."

"Dia pasti akan sangat senang mendengarnya! Ini akan jadi berita yang paling membahagiakan baginya!" Kronar menepuk-nepuk bahu Vilnar. "Kau tahu, kau selalu menjadi anak kesayangannya, walaupun ia dulu menghukummu?"

"Benarkah?"

"Makanya cepat pulang! Biar kau bisa lihat sendiri!"

Vilnar hanya tertawa pelan.

Dan itulah pembicaraan terakhir malam itu. Setelah itu mereka berpisah.

Vilnar mendayung pulang dan sampai di rumahnya lewat tengah malam. Anaknya sudah tidur, tapi istrinya masih bangun, seolah tahu bahwa Vilnar akan pulang malam itu.

Vilnar belum bercerita sama sekali. Padahal sepanjang perjalanan sebenarnya ia sudah berniat menceritakan pertemuannya dengan Kronar kepada Ailene. Namun begitu melihat wajah Ailene, ia melupakan semuanya. Yang terpikir olehnya pada akhirnya hanyalah keinginan memeluk istrinya sepanjang malam. Tak ada hal lain yang lebih penting.

Esok paginya Vilnar tetap belum terpikir untuk memberitahu Ailene. Setelah makan pagi dan bercanda dengan istri dan anaknya di rumah, ia keluar dan mengerjakan pekerjaan rutin yang selalu dilakukannya hampir setiap hari selama bertahun-tahun terakhir: membersihkan halaman dan memotong kayu bakar.

Di samping rumahnya ia mengambil beberapa gelondong batang pohon raksasa yang sudah ia kumpulkan sebelumnya, lalu memotong-motongnya jadi kecil dengan menggunakan kapak. Kayu bakar selalu dibutuhkan di tempat ini. Walaupun sekarang musim panas, pada saat malam hawa tetap terasa dingin jika angin bertiup.

Saat itulah Ailene mendatanginya kemudian duduk di dekatnya sambil menggendong bayinya. Istrinya itu tersenyum lembut, dan Vilnar membalas. Sambil membelah kayu ia menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya sekarang.

Ternyata Ailenelah yang lalu berkata lebih dulu, seakan-akan sudah tahu apa yang menjadi kegelisahan di dalam benak Vilnar.

"Kau belum menceritakan perjalananmu ke selatan. Apakah semuanya baik-baik saja?"

Ailene berbicara menggunakan bahasa orang selatan. Setelah satu tahun Vilnar sudah bisa memahaminya, walau kadang masih ada yang salah.

"Aku pergi ke dua desa, dan mereka semua ..." ia berusaha menemukan kata yang tepat dalam bahasa orang selatan, "... baik. Mereka baik-baik saja. Tak ada kejadian, yang seperti tahun lalu. Mantel kita ... hmm ... terjual habis."

"Syukurlah." Ailene memegang erat-erat tubuh mungil Vahnar yang meronta-ronta karena ingin mendekat dan menyentuh kapak ayahnya.

"Tetapi ... tadi malam aku bertemu tiga orang di sungai," Vilnar akhirnya memutuskan bercerita. Dengan hati-hati ia menyandarkan kapaknya di samping. "Salah seorang dari mereka ... adalah kakak sulungku, Kronar."

Ailene terdiam. Wajahnya tampak sedikit terkejut.

Vilnar melanjutkan, "Ia berkata ... bercerita, tentang kondisi ayahku di Hualeg. Katanya dia sakit, dan dia ingin melihatku pulang. Aku bilang ... aku belum bisa memutuskan."

Mereka berdua kembali terdiam.

"Lalu?" Ailene kemudian bertanya.

"Keputusanku ... tergantung padamu." Vilnar duduk di sebelah istrinya, lalu pelan-pelan membelai kepala putranya. "Aku tak mau berpisah dengan kalian. Jadi, kalau kau mau ikut denganku, kita pergi. Tapi kalau kau tidak mau, kita tidak akan pergi."

Ailene tampak termenung, lalu menjawab, "Aku terserah kau."

"Apa ... kau mau?" tanya Vilnar ragu. "Tidak masalah? Kau pasti tahu Hualeg sangat jauh ... dan asing, bagimu."

Ailene termangu lagi sejenak, lalu berkata, "Kalau kau benar-benar ingin aku pergi bersamamu, aku pasti ikut."

"Kau tidak takut?" Vilnar bertanya, karena teringat bahwa orang-orang Hualeglah yang dulu telah membunuh ayah Ailene, walaupun tentu saja mereka hanyalah begundal-begundal Rohgar, dan berasal dari suku yang lain.

"Apakah kau bisa melindungi aku ... dan putramu?"

"Tentu saja! Tidak akan ada yang berani macam-macam denganku di utara!" jawab Vilnar sedikit emosi.

Ailene mengangguk. "Kalau begitu tidak ada yang perlu kutakutkan. Aku akan ikut denganmu, ke mana pun kau pergi."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now