Bab 22 ~ Pasukan Taupin

346 107 1
                                    

Esok paginya William terbangun berkat selarik cahaya yang menyusup masuk melewati sela-sela jendela kayu yang masih tertutup rapat. 

Seluruh kejadian selama beberapa hari terakhir bergantian memenuhi benaknya. Dari wafatnya ibunya, pertempuran berdarah di tepi sungai, perpisahannya dengan Muriel, dan akhirnya perjalanannya ke utara. 

Rasa kesalnya sempat kembali menggumpal begitu ia teringat bahwa ia harus meninggalkan desanya, yang kini ia sadar bahwa itu bisa terjadi karena kesalahannya sendiri.

Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya ia bisa lebih berhati-hati.

Lalu tiba-tiba ia teringat pada ucapan Rogas saat mereka berangkat.

"Hidup pasti berubah, pada suatu saat, tak peduli kita suka atau tidak."

Laki-laki itu menyebalkan, tapi seringkali ada benarnya.

Ia menoleh. Ternyata Rogas tak lagi berada di dipannya.

Ke mana dia?

William cepat-cepat keluar dari pondok. Halaman belakang rumah Root penuh berisi kotak-kotak kayu lapuk yang semuanya kosong. Itu kotak-kotak yang biasa dipakai buat menyimpan atau mengirimkan ikan. Pikirnya tadi, Rogas mungkin sedang bersantai di luar. Tampaknya tidak. 

William bergegas menyeberangi halaman dan melewati jalanan kecil yang memisahkan dua buah rumah kayu di depannya. Sampai di ujung jalan William menoleh ke kiri. Di teras rumahnya Root sedang duduk di sebuah kursi goyang.

Laki-laki tua itu tersenyum begitu melihat William. "Kau sudah bangun. Kemarilah, duduk di sampingku. Minum teh. Aku juga punya sedikit roti."

"Terima kasih." William memenuhi tawaran Root. 

Lumayan, walaupun roti kering itu hampir tak berasa di lidahnya, tapi mampu menutupi rasa laparnya. 

Sambil menyesap teh hangatnya ia bertanya, "Tuan, apa kau tadi melihat Ro—ehm, maksudku, kakakku?"

"Oh, kakakmu? Dia ... siapa namanya?"

"Dall." William berusaha mengingat-ingat. "Ya, Dall. Itu namanya."

"Dia tadi bertanya di mana rumah Taupin. Lalu dia pergi."

"Kenapa tidak mengajak aku?" tanya William kesal, pada dirinya sendiri. "Dia kan bisa membangunkan aku."

"Aku juga tadi bertanya begitu. Dia bilang, biar kau beristirahat dulu." Si tua Root terkekeh. "Tenang saja, tidak perlu kesal. Kau bisa menyusulnya. Siapa yang datang lebih dulu, belum tentu dia yang paling beruntung. Itu yang kutahu, Nak, setiap kali aku pergi ke sungai untuk mencari ikan selama berpuluh-puluh tahun."

Laki-laki tua itu menunjukkan arah ke rumah Taupin. William pun beranjak pergi. 

Berbeda dengan kebanyakan rumah penduduk di Orulion, rumah Taupin terletak di seberang Sungai Ordelahr. Untuk ke sana William harus menaiki rakit yang dipandu oleh dua orang. Kedua orang itu menarik tali yang terentang panjang di atas sungai, dan rakit pun bergerak ke seberang tanpa harus takut terbawa arus. 

Rakitnya cukup lebar dan kuat, serta terbuat dari batang-batang pohon besar yang kokoh serta tahan air. Dalam perhitungan William, rakit itu bisa membawa sampai dua puluh orang, jika tanpa kuda atau barang-barang lainnya.

Setelah menyeberangi sungai, ia menyusuri jalanan yang berkelok-kelok, sebelum akhirnya sampai di halaman rumah yang terletak di kaki bukit. 

Halaman itu luas dan datar, dan sedang ada keramaian di sana. Puluhan orang berkumpul, seluruhnya laki-laki, duduk melingkar sambil bersorak-sorak. 

William terkejut, karena di tengah lingkaran berdiri Rogas dengan gayanya yang paling congkak. Tangan kirinya berkacak pinggang, sementara tangan kanannya memegang gagang pedang yang ujungnya tertumpu ke tanah. Di hadapannya, seorang pemuda terkapar sambil memegangi perutnya.

William melongo. Apa lagi yang dilakukan Rogas sekarang? Memang tak terlihat ada darah yang berceceran, jadi kemungkinan besar pemuda itu hanya memar, tapi tetap saja William kesal. Apa Rogas baru saja membuat kebodohan berikutnya, dengan cara pamer begini?

Suara lantang membuat seluruh sorak-sorai terhenti, dari seorang laki-laki yang duduk di seberang lingkaran. Laki-laki itu bertubuh kurus, dan rambutnya berwarna kelabu. Pakaiannya sederhana, tapi raut wajahnya tegas dan menunjukkan kewibawaan. 

Tak salah lagi, itu pasti Taupin, si kepala desa.

"Teman baru kita ini rupanya prajurit hebat," kata si kepala desa, yang langsung disambut sorakan semua orang di tepi lapangan. "Lima orang sudah kalah. Apakah ada lagi yang berani menantangnya?"

William menggeleng kesal. Rogas rupanya tidak tahan untuk tidak menunjukkan kesombongannya begitu kesempatan datang! Dia prajurit bayaran, tentu saja keterampilannya lebih tinggi dibanding orang-orang desa. Tetapi apa perlunya dia melakukan ini? Rogas malah menarik perhatian banyak orang! 

Setelah ini, kabar tentang ini akan menyebar ke mana-mana, bahkan mungkin sampai ke selatan dan terdengar oleh Mornitz. William dan Rogas tidak akan bisa bersembunyi lagi. Kalau sudah begitu apa gunanya mereka ke utara?

"Ayo!" seru Taupin menantang. "Tidak ada lagi yang berani?"

Puluhan orang mengeluarkan suara gumaman seperti lebah. Tak ada yang berani mengangkat tangan. Rogas menyeringai, sementara pemuda yang dikalahkannya tadi beringsut-ingsut menarik diri dan bergabung dengan orang-orang lainnya.

Tatapan Taupin kemudian sampai ke William. "Kau, pemuda yang baru datang ke halamanku," kata si kepala desa sambil menunjuk. 

Semua orang langsung menoleh mengikuti pandangannya, termasuk Rogas, yang wajahnya tiba-tiba berubah pucat. 

"Aku baru melihatmu hari ini. Siapa namamu?"

"Wil—maksudku, Tuck. Namaku Tuck!"

"Tuck, tubuhmu jangkung dan kekar. Kelihatannya kau pemuda yang kuat. Kau tidak ingin mencobanya, Nak? Kau mau melawan Dall?"

Jantung William berdegup kencang. Ia menelan ludah, lalu menggeleng. "Tidak." 

Karena tak yakin jawabannya itu terdengar sampai ke telinga Taupin, ia mengulanginya dengan lebih keras, "Tidak!"

Namun tiba-tiba ia sadar, mungkin itu bukan jawaban yang bijak. Bagaimana jika si kepala desa mengganggapnya tidak sopan?

Ia pun berkata lagi, "Maaf, boleh aku tanya dulu? Buat apa?"

"Buat apa?" Si kepala desa tersenyum lebar, dan disambut tawa semua orang. "Aku sedang membuat pasukan! Aku butuh orang kuat dan berani yang bisa kuangkat menjadi wakilku untuk memimpin pasukan. Kau bisa mencobanya, kalau berani. Jadi, apa kau berani? Melawan orang ini?"

William memandangi Rogas. Kekesalannya yang sudah bertumpuk-tumpuk timbul lagi. "Menurut Tuan, aku takut melawan dia?"

Taupin tertawa kecil. "Apa kau takut?"

"Aku tidak takut!"

"Jadi, kenapa tadi bilang tidak?" Taupin tertawa.

Yang lainnya ikut tertawa.

William meradang. Ia mendadak lupa pada niatnya untuk bersembunyi, dan terpancing untuk melakukan keinginannya yang paling mendasar: menghajar Rogas dan memberinya pelajaran.

"Aku akan melawannya!" serunya. 

Ia berjalan maju ke tengah halaman, dan orang-orang yang menghalangi jalannya pun menyingkir. 

Begitu sampai di samping Rogas ia menyeringai. "Aku akan menghajar dia dengan senang hati, kalau diperbolehkan. Apa aku harus memakai pedang?"

"Kita bukan orang barbar seperti orang-orang Hualeg," tukas Taupin. "Aku tak ingin ada orang yang terluka sebelum pertempuran yang sebenarnya nanti. Pakai itu." 

Ia menunjuk pedang yang tergeletak di tanah, yang tadi digunakan si pemuda kalah. 

"Ujung dan sisinya sudah ditumpulkan. Jadi kau hanya akan sakit sedikit kalau terkena." Ia tertawa seraya memperhatikan William mengambil pedang tersebut. "Kau siap?"

William berdiri tegak menghadap Rogas. "Aku siap."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now