Bab 49 ~ Menyelesaikan Urusan

270 91 1
                                    

William tertegun mendengar ucapan Vida. "Maksudmu? Tentu saja tidak keberatan! Jika nanti aku harus membantu kalian, aku akan melakukannya dengan senang hati. Apa pun akan kulakukan untuk kalian."

"Bagus." Vida mengangguk. "Kami mungkin butuh bantuan kamu, nanti."

William balik memandanginya. Mata Vida berwarna biru kehijauan, begitu pula Freya, dan hal itu selalu mengingatkan William pada warna matanya sendiri. Mungkin bisa seperti itu karena ia dan kedua gadis itu berasal dari suku yang sama. Vallanir. Sesuatu yang hangat pun muncul di hatinya, ketika William akhirnya ingin mengenal kedua gadis ini lebih dekat.

Tetapi tidak sekarang, ada hal lebih penting yang harus ia lakukan.

"Katakan saja kalau kalian nanti butuh sesuatu," katanya sungguh-sungguh. "Aku janji, akan membantu setelah semua urusanku selesai."

"Kamu butuh bantuan untuk urusan kamu itu?"

"Darimu? Sekali lagi?"

"Aku dan Freya bisa ikut menjaga dua orang itu sampai ke desa kamu."

"Kalian mau? Itu bagus! Tapi jadinya aku harus membalas budi lebih banyak, ya?" William tertawa, bercanda.

"Tak perlu menghitung-hitung jasa. Aku tidak melakukan hal seperti itu, dan kamu pun tidak perlu melakukan itu juga."

William mengangguk. "Aku setuju."

Mereka berangkat, dan William sangat senang Vida dan Freya bisa ikut bersamanya. Perahu mereka yang berisi lima orang, termasuk di dalamnya Darron dan Brenis, bergerak ke selatan menyusuri Sungai Ordelahr menuju ke Desa Thaluk. Sedangkan perahu lainnya yang berisi anak buah Vida berada cukup jauh di belakang, dan nanti hanya akan berjaga-jaga dan tidak akan ikut masuk sampai ke desa.

Sesuai perkiraan William, kawanan Mornitz telah menemukan anak sungai yang sejajar dengan Sungai Ordelahr di sisi barat hutan, yang bisa membawa mereka melewati Thaluk dari selatan ke utara, atau sebaliknya, tanpa terlihat dari desa. William harus menyampaikan penemuan baru ini pada Morrin dan Taupin. Kemungkinan besar beberapa orang desa sebenarnya sudah mengetahui tentang anak sungai ini, tapi belum menganggapnya sebagai hal yang penting.

Selama berperahu William termenung. Pada Vida dan Freya, sebenarnya ada banyak hal yang ingin ditanyakan oleh William. Tentang keadaan di Hualeg, tentang suku Vallanir dan juga tentang keluarga ayahnya. Walaupun untuk yang terakhir itu William harus berhati-hati jika nanti ia ingin berbicara, karena dari cerita ibunya ia tahu bahwa ayahnya dulu pergi dari sukunya tidak dalam suasana yang baik.

William tidak yakin bagaimana Vida nanti akan menanggapi ceritanya begitu tahu ia siapa, apakah akan senang atau malah justru jadi bermusuhan. Karenanya lebih baik ia diam dulu saja, dan mereka tak perlu tahu kalau ayah William berasal dari suku Vallanir. Lagi pula saat ini ada Darron dan Brenis bersama mereka, jadi tak mungkin bagi William membicarakan hal-hal penting di depan kedua orang itu.

Mereka tiba di Thaluk saat petang. Para prajurit yang tengah berjaga terheran-heran dan bersiaga begitu melihat dua gadis Hualeg datang bersama William, terutama Vida yang penampilannya terlihat tangguh dan berbahaya. Namun William berkata, mereka semua tidak perlu khawatir, karena dua gadis ini adalah temannya. Untungnya ada Thom yang sudah pernah melihat Vida dan Freya, dan bisa menjelaskannya pada semua orang di desa.

William justru harus lebih berhati-hati pada Darron dan Brenis. Mereka bandit yang pantas untuk dihukum, tapi hal itu harus dilakukan secara adil karena jika tidak, hanya akan menimbulkan dendam dan masalah baru dari ayah Darron yang adalah kepala bandit di Alton.

William berkata pada Thom, "Dua orang ini bandit dari selatan. Mereka mencari Dall. Karena Dall tidak ada, mereka mencariku."

"Mana Boulder?" tanya Thom sambil melihat ke sekitarnya.

"Dia ternyata anggota mereka, dan sudah mati."

Thom melongo. Raut wajahnya penuh tanda tanya. "Apa yang terjadi? Dia ternyata menjebakmu? Jadi selama ini ..."

"Ya." William mengangguk. "Selama ini dia membohongi kita. Sudahlah, lupakan saja. Dia tidak pantas dibahas lagi."

"Baiklah." Thom termangu, lalu menoleh. "Jadi, apa yang harus kami lakukan pada kedua orang ini?"

William menatap tajam ke arah Darron dan Brenis. Tangan keduanya tidak diikat, tapi mereka tahu tak mungkin lari atau bertindak macam-macam di Thaluk. "Pada dasarnya, jika mereka masih menganggapku sebagai musuh, kalian bisa membunuh mereka. Ya, sepertinya itu lebih baik. Aku bisa hidup lebih tenang nanti. Bagaimana? Kalian bisa melakukannya untukku?"

"Membunuh mereka? Tidak masalah." Thom menyeringai seram seraya meraih gagang pisaunya. "Dengan senang hati."

Darron dan Brenis ketakutan, wajah mereka langsung pucat.

"Kau sudah berjanji akan membantu kami!" Darron menjerit histeris.

"Itu sebelum kalian mencoba membunuhku," tukas William.

"Boulder benar!" Darron terus berteriak. Teriakannya mungkin akan terdengar sampai ke seluruh penjuru desa. "Kalian akan membunuh kami begitu sampai di desa!"

Brenis mengangkat tangannya, menyuruh pemuda itu untuk diam. Ia berkata lirih, "Tuan William, kami memohon ampun. Semua yang terjadi di sungai di luar perkiraan kami. Semua gara-gara Mornitz. Aku dan Tuan Darron sebenarnya tak ingin mencelakaimu. Kami sangat berharap itu tidak terjadi. Izinkan kami pulang, Tuan, dan kami tak akan pernah lagi menganggapmu sebagai musuh, bahkan tanpa kau minta. Kami berjanji."

"Kau sepertinya yang paling baik di antara semua bandit ini. Tapi aku tidak yakin janji semacam itu bisa dipegang," balas William. "Kau tetap cuma orang suruhan ayah pemuda ini, dan tak bisa menjamin apa-apa. Jadi, setelah aku pikir-pikir lagi, kata-kataku tadi sepertinya salah. Kalian mati atau tidak bukan tergantung kalian, tetapi tergantung pada kami. Benar?"

"Itulah kenapa aku memohon darimu ..." kata Brenis pelan.

"Kalian boleh pergi," jawab William cepat.

Wajah Darron berubah cerah. Tampaknya ia benar-benar tak menyangka. Mulutnya bergetar. "Be—betulkah—?"

Sementara Brenis lebih cepat bereaksi. Ia langsung menyikut lengan Darron dan cepat-cepat menundukkan kepala. "Terima kasih, Tuan William! Kau seorang yang sangat murah hati."

Darron buru-buru mengikutinya. "Terima kasih, Tuan!"

William mengangguk-angguk. "Dan aku juga akan membantu kalian mencari benda itu. Supaya kalian tahu, dan juga ingat nanti, bahwa sebenarnya aku tak ingin bermusuhan dengan kalian."

"Kami pasti akan mengingat itu, Tuan." Brenis mengangguk.

Darron ikut menjawab, "Tak akan pernah aku lupakan!"

Dalam hati William tertawa. Mereka berdua tampak sungguh-sungguh, tetapi apakah benar-benar bisa dipercaya? Waktu yang akan membuktikan. Untuk saat ini yang penting ia sudah selesai berurusan dengan mereka.

William kemudian memanggil beberapa orang prajurit dan memerintahkan mereka untuk mencari kalung yang mungkin terjatuh di sekitar dermaga tempat malam terakhir ia berbincang dengan Rogas. Saat ini matahari sudah hampir terbenam, jadi mereka harus cepat-cepat mencari kalung tersebut sebelum hari menjadi terlalu gelap. 

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang