Bab 105 ~ Kebohongan

196 75 1
                                    

Kebohongan ada di mana-mana, dan bisa dilakukan siapa saja.

Sepertinya itulah yang paling bisa dipelajari oleh William hari ini.

Seharusnya ia tidak perlu heran. Ia sendiri pernah berbohong. Mungkin sering. Jadi, bagaimana ia bisa berharap orang lain tak membohongi dirinya?

Tetap saja, beberapa kebohongan mampu membuatnya murka karena sedemikian besarnya. Membuatnya merasa bodoh karena seharusnya ia bisa menyadarinya sejak awal, dan juga sakit hati dan merasa sendirian, karena kini ia tak tahu siapa lagi orang yang bisa ia percaya di tempat ini.

Erenar, Tilda, Helga telah membohonginya, atau menjadi bagian dari kebohongan itu. Begitu pula Vida. Gadis itu dulu pernah berbohong padanya, dan kini sudah menjauh darinya, jadi bagaimana William bisa yakin kalau dia tidak akan membohonginya lagi? Apakah Vida benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya dulu? Apakah dia benar-benar tidak tahu kebohongan yang telah dibuat oleh Erenar? Saat ini sulit untuk dipercaya.

Senjata untuk menghadapi kebohongan mungkin adalah dengan kebohongan juga. Cerita yang baru saja diungkapkan Mornir adalah sesuatu yang besar dan berpengaruh ke banyak orang. Bisa jadi cerita itu benar, bisa jadi bohong. Vida ikut mendengarkan semuanya, dan William tidak tahu apakah gadis itu berada di pihak yang melindungi kebohongan itu, atau tidak. William harus berhati-hati dengannya, bahkan kalau perlu berbohong juga.

Namun, sebelum itu, Mornir masih punya kalimat-kalimat lain.

"Kau tahu kenapa aku menceritakan ini, Vahnar? Kenapa aku tak ingin para prajuritmu itu mendengar? Karena aku ingin kau tahu lebih dulu apa yang terjadi padamu, dan aku ingin gadis ini tahu apa yang telah dilakukan ayahnya, si kepala suku kalian. Kemudian, aku ingin kau berpikir.

"Sudah kuceritakan tadi bagaimana kondisi sukuku, bahwa kami siap berperang, jika kalian menginginkannya. Aku siap, jujur saja, aku yakin bisa mengalahkan kalian, pada awalnya. Aku percaya, inilah saatnya Logenir menjadi pemimpin, dengan Vallanir berada di bawah mengakui keunggulan kami. Inilah saatnya Logenir menjaga suku-suku lainnya, dengan cara yang lebih adil dibanding yang telah dilakukan Vallanir selama ini.

"Namun kemudian aku bertemu kau. Kau menghancurkan semuanya. Menghancurkan kami, tak hanya secara fisik, tetapi juga mental. Kami bukan penakut, kami siap mati dalam peperangan, tetapi kenapa kemudian kami menjadi begitu takut, putus asa, bahkan takjub tak percaya? Saat berada di atas bukit aku merenung, kenapa ini terjadi? Apa yang salah dengan kami?

"Lalu aku sadar, ini memang jalan yang telah ditunjukkan oleh para dewa. Bukan aku, tetapi kau, yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin Hualeg. Apa yang terjadi hari ini menjadi bukti, bahwa kau tak hanya mampu menjadi penghancur, tetapi juga pengampun. Kau yang seharusnya menjadi pemimpin kami semua. Kau yang pantas menjadi kepala suku Vallanir, bukan Erenar, penipu itu." Mornir menarik napas setelah mengucapkan kalimat-kalimat panjangnya, sebelum menutup, "Inilah yang ingin kusampaikan padamu. Jadilah pemimpin di sukumu, ambil tanggung jawab. Aku berjanji, jika itu terjadi, maka kami dan semua suku di barat akan tunduk kepadamu."

William memandanginya lekat-lekat. Ada banyak hal penting yang diucapkan oleh Mornir, termasuk tawaran darinya, dan sekarang pemimpin suku Logenir itu berharap William bisa langsung menerima semuanya?

Ia pun hanya menjawab singkat, "Pergilah."

Mornir mengangguk. "Aku menunggu jawabanmu."

Laki-laki itu menepuk dadanya sebagai tanda hormat pada William, lalu berbalik, berjalan menyusul para prajuritnya yang telah pergi lebih dulu ke arah hutan di sebelah barat. William menatap sampai laki-laki itu menghilang dari pandangan, lalu berjalan mendekati Vida dan memutuskan tali yang mengikat pergelangan tangan gadis itu, tanpa berkata-kata.

Vida berkata lirih, "Terima kasih ..."

William hanya mengangguk singkat. Jauh di dalam hatinya sebenarnya sempat muncul rasa rindu, keinginan untuk memeluk Vida dan bilang betapa ia senang melihat gadis itu. Namun hal lain terus mengganggunya, memenuhi pikirannya. Seluruh kata-kata Mornir terpaku di benaknya. Kenyataan bahwa Erenar mengkhianati ayahnya, kebohongan-kebohongan yang telah diucapkan semua orang, dan juga tanggung jawab yang harus ia ambil.

"William," panggil Vida, begitu William berjalan menjauhinya, ke arah pasukan Vallanir yang tengah menunggu di timur. "Aku harap kamu tidak percaya apa yang dikatakan Mornir. Ia perampok, pembunuh, dan juga penipu."

William tak mempedulikannya.

"William!" Vida kembali memanggil.

William menoleh. "Apa? Aku tidak peduli apa yang dia katakan. Menurutmu aku percaya? Buat apa? Aku tidak ada urusan dengan itu semua. Aku tidak akan lama di tempat ini, di negeri kalian. Setelah sampai di desa besok, mungkin aku akan langsung pulang ke selatan."

Vida ternganga. Matanya mengerjap. Ia kelihatan bingung. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian mengurungkan niatnya.

William memperhatikan gadis itu beberapa saat, lalu kembali memalingkan wajahnya. Ada banyak hal yang ingin ia katakan pada gadis itu, tetapi rasanya tidak ada gunanya lagi. Rencana, dan tujuan apa yang masih bisa mereka miliki bersama? Mungkin tidak ada, jadi mestinya tak ada lagi yang bisa dibicarakan. Ya, mungkin masih ada, tetapi bukan tentang mereka lagi.

Keduanya berjalan kembali ke pasukan. Para prajurit bersorak menyambut keduanya, tapi William terus berjalan melewati mereka.

Bagaimanapun, mereka semua tetap pasukan yang berada di bawah komando Vida, bukan William. William tadi sempat memimpin sebentar saat melakukan pengejaran, tapi cuma itu. Sekarang ia hanya ingin secepatnya kembali ke desa. Terserah jika pasukan itu sekarang mau melakukan apa.

Namun setelah beberapa lama ia sadar bahwa ternyata ia butuh istirahat. Saat tengah malam ia memutuskan untuk berhenti di tepi hutan. Para prajurit, yang sedari tadi mengikutinya, ikut berhenti dan beristirahat.

William duduk bersandar di batang pohon, berusaha mengistirahatkan tubuhnya, dan coba menghilangkan segala hal yang membebani pikirannya. Sulit, karena sekali lagi kata-kata orang Logenir itu mengganggunya. Dan kini William mulai berpikir, apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia tetap harus bicara, bukan? Mengkonfirmasi dengan seseorang, untuk memastikan kebenaran cerita Mornir. Apakah sebaiknya bicara ke Helga, atau sebaiknya langsung ke Erenar? Haruskah ia mengkonfrontir langsung sang kepala suku?

Langkah kaki mendekatinya.

William mengangkat wajah, melihat laki-laki bertubuh besar yang kemudian duduk tak jauh di depannya. Svenar. Dia menyodorkan sepotong daging bakar yang diletakkan di atas daun, dan sebotol minuman.

"Untukmu," kata Svenar. "Kau belum makan dan minum sejak tadi."

"Terima kasih." William menerimanya, dan mulai makan.

Svenar menenggak minuman dari botolnya, lalu tetap duduk di sana. Ia tak beranjak pergi, jadi kemungkinan ada sesuatu yang ingin dikatakannya.

"Bicaralah," kata William, "jika memang ada sesuatu."

Si raksasa manggut-manggut. "Bagaimana keadaanmu?"

"Baik. Kalian?"

"Baik sekali, dan tetap bersemangat. Vida sudah meminta kami mengumpulkan mayat rekan-rekan kita yang tewas. Besok kami akan membawa semuanya memakai tandu. Kita berangkat selepas matahari terbit, kalau kau tak keberatan."

"Kenapa aku harus keberatan?"

"Hmm, ya ... karena ... tentu saja kami harus mendengarkanmu."

"Aku tidak keberatan. Apa Vida yang menyuruhmu bicara padaku?"

"Dia tidak menyuruh. Dia hanya bertanya, padamu, lewat aku."

"Bilang padanya aku tidak masalah."

"Siap." Svenar mengangguk.

William kembali makan. Setelah terdiam beberapa lama dan termenung, ia kemudian bertanya. "Pertempuran kita di sungai, menurutmu ada terlalu banyak yang mati?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now