Bab 115 ~ Heiri Hardingir

312 82 1
                                    

Danau itu gelap.

Entah apa yang menanti William di bawah sana.

Namun hatinya sudah menuntun ke tempat itu. Keraguan, ketakutan, semuanya itu tidak ada lagi. Hanya ada keyakinan dan penerimaan.

William melompat, meluncur masuk ke dalam danau. Berenang dalam gelap, mendekatkan diri, pada sesuatu yang terus memanggil hatinya.

Ia terus berenang, semakin dalam, hingga akhirnya ia melihatnya.

Melihat semuanya. Dasar danau yang terang benderang, dan seekor harimau besar berbulu putih cemerlang yang tengah duduk menatapnya.

"Lama sekali, Ardnar." Suara hewan itu terdengar.

Aneh juga, suaranya bisa terdengar dalam air.

"Lama sekali kau baru menemukanku. Untuk kali ini kau kalah."

William berenang mendekat, lalu melayang di depannya, dan membalas, "Aku bukan Ardnar."

Ini juga aneh. Di dalam air ia bisa bicara, dan suaranya bisa terdengar.

Sepasang mata merah harimau itu—yang jarak antar kedua matanya sebentangan tangan—menatap tajam. "Lalu siapa yang bermain denganku ini?"

"Aku Vahnar, putra Vilnar putra Radnar putra ... entah siapa lagi."

Rokhan si harimau tampak bingung, tetapi kemudian mengangguk.

"Hmm ... aku tahu putra siapa lagi, urut-urutannya dari Radnar sampai ke Hinnar Si Pembantai." Harimau itu menggeram. "Kaukah orangnya? Hmm. Ardnar sudah memilihmu. Aku melihat dirinya di dalam dirimu. Kau benar-benar gila, berani datang ke tempat ini."

"Tuan Rokhan, kau sudah tahu kenapa aku kemari?"

"Tentu saja," jawab harimau itu ketus. "Kau mau mengambil pedang itu. Tapi jawab dulu satu pertanyaan dariku. Buat apa kau mengambilnya? Apakah kau seperti Hinnar?"

"Satu? Itu dua pertanyaan!" William kemudian menghela napasnya. "Aku membutuhkan pedang itu, untuk menyelamatkan jiwaku, agar aku tidak menjadi seperti Hinnar."

Rokhan termangu, lalu mendengus. "Sederhana sekali alasanmu. Bukan alasan-alasan besar seperti tugas, ingin berkuasa, atau menyatukan negeri?"

"Itu ... terus terang masih sulit kubayangkan."

"Bagus!" Rokhan tertawa. "Bagus! Aku justru suka. Jujur, tidak omong besar. Setuju! Selamatkan jiwamu. Jadilah orang baik lebih dulu. Itu jauh lebih penting daripada alasan-alasan lainnya. Toh Ardnar sudah memilihmu, dewa-dewa sudah memilihmu. Aku tidak perlu pusing lagi, mestinya."

"Mmm ... iya, Tuan."

"Kalau begitu, ambillah."

"Di mana?" tanya William bingung.

Si harimau putih mengangkat kaki kanannya.

William terkesiap, begitu melihat sebilah pedang berwarna hitam tertancap dalam di dada hewan itu.

"Kenapa ... kenapa pedang itu ada di sana? Siapa yang melakukannya?"

"Siapa lagi? Tentu saja Hinnar Si Pembantai."

"Kalau aku mencabutnya, apa yang akan terjadi denganmu?"

"Ya mati. Menurutmu?" tukas Rokhan tidak sabar. "Sudah, lakukan saja. Aku memang sudah menunggu mati sejak dulu, tapi Odaran belum mengizinkan dengan berbagai alasan. Bayangkan saja rasanya seperti apa. Amerik dan Ondhar sudah mati di tangan Hinnar. Lalu kemarin Ethrak. Kau yang membunuhnya, bukan? Berarti sekarang waktuku. Aku sudah tidak sabar. Setelah kami semua mati, kami berkesempatan hidup lagi di kehidupan selanjutnya, kalau Odaran membutuhkan kami lagi. Kau mengerti?"

Northmen SagaWhere stories live. Discover now