Bab 97 ~ Kebenaran

202 84 17
                                    

"Aku belum tahu," William menjawab dengan hati-hati. "Mungkin beberapa hari. Aku hanya berkunjung."

"Aku berharap kau bisa lebih lama. Selama mungkin, kalau bisa."

Itu harapan yang agak aneh. Tapi William mengangguk pelan.

"William, ada sesuatu yang ingin kubicarakan, yang kurasa penting."

"Boleh. Hmm ... kita bisa bicara di sini."

Perempuan itu menggeleng. "Aku perlu tempat yang lebih tertutup, supaya tak ada yang mendengar. Di ruanganmu, jika kamu tidak keberatan."

Ini permintaan yang rasanya cukup aneh juga. Tapi mungkin sebaiknya dituruti. Dia bilang supaya tidak ada yang mendengar? Apakah ini soal rahasia?

William masuk ke kamarnya. Perempuan berambut kuning itu berjalan mengikutinya. Sesampainya di dalam William menutup pintu. Keduanya duduk di kursi kayu yang berada di dekat pintu.

Perempuan itu terlihat cukup tegang.

"Maafkan aku," katanya, "karena memintamu begini."

"Tidak apa-apa." William menunggu.

Setelah diam agak lama, baru perempuan itu bicara lagi. "Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan diri dulu. Namaku Tilda. Aku ibunya Vida."

"Sudah bisa kuperkirakan. Kalian berdua mirip sekali." William nyengir.

Cengirannya lenyap begitu ia teringat, jika ternyata nanti ia menikahi Vida, berarti perempuan ini jadi mertuanya! Benar-benar tidak sopan ia tadi nyengir seperti itu.

Tilda tersenyum. "Kuyakin, kamu juga pasti mirip dengan ayahmu."

"Oh ... ya, ibuku juga dulu pernah bilang begitu."

"Bagaimana kabar mereka? Ayahmu, dan ibumu?"

William diam, membalas tatapan Tilda. "Mereka sudah meninggal."

Wajah perempuan itu berubah, kini terkejut. "Kapan? Bagaimana?"

"Ibuku hampir tiga bulan yang lalu. Sedangkan ayahku, kata ibuku, saat aku masih bayi."

"Apa yang terjadi padanya?" Tilda mendekat. "Ayahmu, maksudku."

"Aku ... belum tahu," jawab William tidak yakin.

"William, apa kamu tahu ... siapa nama ayahmu?"

"Namanya Vilnar."

Napas perempuan itu tertahan. "Kamu tahu siapa dia, dan dari mana?"

Ini dia. Pertanyaan paling penting. William kini mulai bisa menduga akan ke mana arah pembicaraannya. Perempuan ini, seperti halnya Helga, sepertinya mengenal ayahnya. Tapi, inikah alasan kenapa dia mengajak William berbicara di ruangan tertutup? Kenapa? Apakah Tilda menganggap hal ini sebuah rahasia yang tak perlu diketahui orang banyak?

Namun, bukankah ini juga kesempatan yang William cari? Ia bermaksud mencari tahu apa yang dulu terjadi pada ayahnya. Sekarang ia sudah menemukan orang yang mungkin tahu.

"Ibuku bilang dia berasal dari suku Vallanir," jawabnya.

Mata Tilda tiba-tiba basah, lalu membanjir. Bibirnya bergetar, tetapi dia tersenyum. Kedua tangannya menggenggam tangan William.

"Ya. Dia dari Vallanir. Dia lahir di sini. Istrinya bernama Ailene. Dan putranya ... kamu, bernama Vahnar."

"Kau kenal kami semua?" William masih ragu bagaimana ia harus menanggapi reaksi perempuan di hadapannya. Genggaman tangan perempuan itu hangat. Kenyataan bahwa Tilda mengenalnya membuatnya senang.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now