Bab 109 ~ Hukuman

194 72 4
                                    

Kali ini William terbangun dengan posisi duduk bersila, dengan kedua tangan terentang ke kiri dan ke kanan, terikat pada sebuah tiang, di tengah-tengah ruangan tertutup.

Ruangan itu seukuran kamarnya, tetapi lebih gelap. Cahaya hanya masuk dari lubang kecil panjang yang ada di atas pintu di depannya.

Ia lalu menunduk, memeriksa tubuhnya. Tidak ada bagian yang terasa sakit. Tidak ada luka. Mereka tidak memukulnya, menyiksa atau semacamnya.

Padahal jika dipikir-pikir, jika William coba mengingat-ingat apa yang baru saja dilakukannya, di mana ia menyerang seorang kepala suku, itu adalah tindakan yang mestinya pantas dihukum berat.

Atau mungkin belum? Baru setelah ia sadar, ia akan dihukum berat? Dipukuli, atau bahkan sampai dihukum mati?

William menangis. Di sela-sela kemarahannya ia menangis. Ia mulai menyesal, kenapa sampai melakukan kebodohan itu. Kenapa sampai ia lepas kendali. Dendamnya tentu saja masih ada. Ia masih harus membalas kematian ayahnya. Erenar harus mendapat ganjaran setimpal, dia tidak boleh lepas begitu saja, dengan cara berlindung di balik segala perbuatan baiknya selama ini. Dia tetap bersalah, tak peduli apa yang kemudian dia lakukan.

Sekarang, William tak mampu membalaskan dendam itu. Seharusnya ia lebih bersabar. Mencari cara yang lebih tepat, dan mencari waktu yang lebih tepat. Sekarang William justru akan mati sia-sia. Dan Erenar tetap hidup tanpa balasan. Bodoh!

Tidak. William masih bisa membunuhnya. Ia kuat. Ia bisa, kalau mau.

Bunuh dia. Bunuh dia. Bunuh dia.

Terdengar suara langkah dari luar ruangan. William mengangkat wajah begitu pintu di depannya terbuka, tetapi memejamkan mata begitu cahaya dari luar menyilaukannya. Begitu ia membuka matanya pelan-pelan, ia bisa melihat seseorang duduk bersimpuh di depannya.

Vida. Mata gadis itu berair.

"William ..."

"Vida."

"Bagaimana ... keadaanmu?" tanya gadis itu khawatir.

"Menurutmu?" William tertawa getir. "Apa kamu yang memukul kepalaku?"

"Ya. Maaf." Vida menunduk.

"Tidak apa-apa."

Vida menggeleng-geleng. "Seharusnya kamu tidak sampai sebodoh ini."

"Itu kebodohan yang harus dilakukan."

"Aku baru saja bicara dengan ayahku."

"Ia bukan ayahmu," William menukas.

"Kumohon ..." Vida berkata. "Dengar dulu. Ayahku ... dan aku, baru saja bertemu dengan para tetua. Apa yang kamu lakukan cukup berat. Percobaan pembunuhan kepala suku. Para tetua bilang, hanya ada satu hukuman yang bisa dijatuhkan. Hukuman mati." Ia menggigit bibirnya, menahan emosi.

"Aku coba membelamu," kata Vida. "Kubilang kamu sedang sakit, juga mabuk. Ada sesuatu yang membuatmu tidak bisa berpikir jernih. Jadi kubilang hukuman untukmu cukup dipenjara saja, sampai waktu yang belum ditentukan. Sayangnya, mereka menolaknya, karena mereka menganggapmu berbahaya. Ayahku lalu bilang, apa pun yang kamu lakukan, kamu tetaplah putra adiknya, yang berarti adalah putranya juga. Ia bersedia memaafkanmu. Untuk itu sebaiknya kami mendengar dulu apa yang ingin kamu sampaikan. Jika kamu benar-benar menyesal dan bersumpah tidak akan mengulangi kesalahanmu, mereka semua akan memaafkanmu, dan kamu akan dibebaskan. Namun jika kamu ternyata tidak menyesal, hukuman mati akan tetap dijalankan."

"Aku ... benar-benar bisa dibebaskan?" tanya William heran.

Vida mengangguk. "Asal kamu benar-benar menyesal dan mau bersumpah—"

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang