Bab 113 ~ Warisan

212 75 1
                                    

Helga membenarkan ucapan William.

"Dalam legenda, itulah yang terjadi pada batu hitam, jika ia dipisahkan dari pasangannya. Batu itu memberi pemiliknya kekuatan, dan juga kelemahan. Ia menguatkan emosimu, perasaanmu, pikiranmu, tubuhmu. Sekaligus juga melemahkan yang lainnya. Cintamu, juga kebencianmu. Kepercayaanmu, juga ketidakpercayaanmu. Jika tidak ada batu pasangannya di dekatnya, ia akan membuatmu kehilangan keseimbangan, membuatmu sulit mengendalikan diri, saat kau membiarkan salah satu emosi itu tumbuh dan berkembang. Itulah dulu yang terjadi pada Hinnar dan Godnar, dan sekarang, padamu."

"Jadi, semua yang diperkirakan Vida benar," ujar William pahit. "Bahwa memang ada sesuatu yang buruk di dalam diriku. Dan aku tidak pernah percaya pada kata-katanya."

"Aku juga salah, karena tidak menyadari hal itu sejak awal," jawab Helga sedih. "Kupikir apa yang terjadi padamu tidak akan separah ini. Kupikir kau baik-baik saja."

"Apakah ... mungkin ... batu itu juga berpengaruh pada Vida?"

"Kenapa?" tanya Helga heran. "Kau yang menyentuh batu itu pertama kali. Kau yang mendapatkan pengaruhnya. Vida menyentuhnya belakangan, dan dia sudah bilang pada kita, bukan? Bahwa dia tidak merasakan apa-apa."

"Itu yang dia bilang, tetapi bagaimana jika sebenarnya dia merasakan sesuatu? Sesuatu yang melemahkan tubuhnya, atau pikirannya. Ia tidak mau bilang, karena ia tidak mau kita khawatir! Tapi kemudian aku ingat, saat perang melawan orang Logenir, ada yang bilang ia melemah, itulah kenapa akhirnya ia bisa ditangkap oleh Mornir. Dan mungkin ada hal-hal lainnya juga, yang aku tidak tahu! Dia merasakannya, dan aku mengabaikannya!"

"Vahnar, itu hanya dugaan. Mungkin tidak ada kaitannya sama sekali." Helga masih tampak belum yakin.

"Aku yakin. Batu itu terkutuk!" seru William. "Semua hal buruk ini tidak akan pernah terjadi, dan Vida tidak akan sampai mati, jika sejak awal kau tidak menyuruh Vida pergi mencarinya! Benar?!"

"William ..." suara lirih Freya terdengar, seperti ketakutan.

"Dan sekarang kau menyalahkan aku, Vahnar?" tanya Helga hati-hati. "Kau sekarang akan membiarkan emosimu tidak terkendali lagi, kemudian mencelakaiku?"

William tertegun. "Aku ... Tidak ...." Ia menunduk, berusaha kembali tenang. "Maafkan aku ... Akulah yang salah. Ini salahku. Aku harusnya lebih waspada, dan mau mendengarkan ucapan Vida ..."

"Demi Odaran, berhentilah menyalahkan dirimu," tukas Helga. "Daripada memikirkan hal-hal buruknya, kenapa tidak memikirkan hal-hal indahnya saja? Misalnya, kalau aku tidak menyuruh Vida ke selatan, kau tidak akan bisa bertemu dengannya, bukan? Kalian tidak akan pernah bertemu, dan tidak akan pernah bersama, walaupun hanya sebentar. Kau lebih suka yang seperti itu, Vahnar? Kurasa tidak."

Dia benar. Saat-saat bersama Vida, walau hanya sebentar, itulah yang paling penting bagi William dari seluruh perjalanannya selama ini.

"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?" ia bertanya lirih.

"Pertama, soal batu hitam yang kau miliki, ada di mana sekarang?"

"Vida yang memegangnya. Mestinya itu tersimpan di kamarnya."

Helga mengangguk. "Jaga itu baik-baik. Aku belum yakin, tapi jika benar dugaanmu bahwa itu bisa mengakibatkan sesuatu yang buruk, seperti yang terjadi pada Vida, maka kau harus menjaganya agar jangan sampai ada yang tahu, dan memegang batu itu. Kau harus menjaganya seumur hidupmu."

"Aku akan menjaganya." William lalu menoleh ke arah Freya, menatap gadis itu. "Dan Freya akan membantuku menjaganya, jika aku tidak ada."

Freya balas memandanginya, kemudian mengangguk dengan mantap. "Ya, aku akan melakukannya."

"Setelah itu," lanjut Helga, "kau harus secepatnya mendapatkan batu yang satu lagi. Semakin lama kau hidup hanya dengan satu batu, emosimu akan semakin sulit dikendalikan. Kau bisa mencelakai lebih banyak orang. Kau harus mendapatkan batu yang kedua itu segera, demi kebaikanmu dan orang-orang di sekitarmu."

"Dan demi Vida," William membalas. "Helga, aku memang berniat mencarinya. Ini keinginan Vida, yang belum sempat ia wujudkan. Ia punya mimpi, menyatukan bangsa Hualeg dengan kedua batu itu. Walaupun menurutku impian itu terlalu muluk, ini adalah impiannya. Aku harus melakukannya, untuknya. Hanya masalahnya, aku belum tahu ke mana tepatnya aku harus pergi untuk mencari benda itu."

"Kau harus pergi ke dataran es di utara. Tepatnya di mana, begitu kau sampai di tanah itu, hatimu akan menunjukkannya, berkat batu hitam yang sudah kau miliki sebelumnya. Tempat itu bukan tempat yang mudah. Dingin, gelap. Orang biasa tidak mungkin bisa bertahan hidup di tempat seperti itu. Tapi kau, berkat batumu. kurasa, sudah punya sesuatu di dalam dirimu, yang akan bisa membuatmu melewatinya dengan mudah."

William termenung. "Ya. Vida sudah pernah mengatakan hal seperti itu juga. Dia ... ah, dia ... aku baru menyadarinya sekarang, semua kata-katanya, semua yang pernah ia ucapkan, ternyata sebenarnya sangat berarti ..." Ia menggeleng-menggeleng, kemudian menarik napas, berusaha mengendalikan perasaannya. "Baik, aku sudah mengerti. Terima kasih, Helga. Aku akan pergi ke utara besok, dan semoga semuanya berjalan lancar."

"Semoga Odaran melindungi dan memberkatimu," Helga membalas. "Tapi, Vahnar, ada satu hal yang tadi kupikirkan, yang mungkin belum kau pahami, dan harus kuingatkan lagi. Kisah mengenai kedua batu ini sebenarnya adalah rahasia yang hanya boleh diketahui oleh para kepala suku Vallanir, yang disampaikan secara turun temurun. Itu pun tidak semua kepala suku langsung tahu sejak awal. Banyak yang baru tahu menjelang akhir hidupnya, demi menjaga rahasia ini. Aku tahu, dan Radnar juga tahu, karena kami pernah menjadi kepala suku. Tapi Erenar, dia belum tahu."

"Aku mengerti," kata William. "Aku tetap akan merahasiakannya."

"Tapi, kita bisa memberitahukannya pada seseorang, jika kita punya alasan yang kuat untuk melakukannya. Aku dulu memberitahu Vida, supaya dia bisa mencarinya. Vida lalu memberitahumu, karena kau yang menyentuh batu itu. Sekarang," Helga menoleh ke arah Freya, "kuharap kau punya alasan kuat, Vahnar, kenapa sekarang kau membiarkan Freya mengetahui hal ini."

"Ya, aku punya," kata William. "Jika benar yang kau sampaikan tadi, perjalananku ke daratan es nanti akan sangat berat dan berbahaya. Mungkin aku akan tersesat dan tidak bisa kembali, atau bahkan mati di sana, dan untuk itu aku sudah siap. Ketika hal itu nanti terjadi, aku ingin Freya ..." Ia memandangi gadis berambut merah itu dan memberinya senyuman, "yang menggantikanku menjadi kepala suku Vallanir, dan mewarisi batu hitam itu."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now