Bab 78 ~ Alasan Itu Tidak Cukup?

222 82 2
                                    

"Ha?!" William semakin terkejut.

Pingsan selama tujuh hari?

"Kamu serius?!" teriaknya.

"Iya!" seru Freya dengan gaya lebih dramatis. "Makanya kami harus membawamu ke dukun."

"Buat apa?"

Bayangan dirinya diperiksa oleh dukun membuat William ngeri.

Kenapa harus dukun dan bukannya tabib, seperti yang dulu ada di desanya? Istilah dukun itu rasanya ... terlalu mengerikan!

"Tidak perlu!" serunya. "Aku sudah sadar sekarang. Aku baik-baik saja!"

"Mmm ... belum tentu," gumam Freya pelan, sepertinya tidak yakin.

"Maksudmu?"

"Belum tentu baik-baik saja. Kamu tetap harus diperiksa." Freya meringis. "Dadamu harus dibelah, mungkin, untuk melihat barangkali ada sesuatu di dalam sana. Atau barangkali kepalamu yang dibelah?"

William melongo. Gadis ini pasti cuma bercanda, kan?

Ya, dia pasti cuma bercanda.

Namun tetap saja, ini mengerikan.

"Hei, kalau soal ini, berhubung aku yang jadi pasiennya, bukannya lebih baik aku sendiri yang membuat keputusan?" William mengeraskan suaranya, supaya bisa didengar jelas oleh Vida, karena ia yakin pasti Vida yang membuat semua rencana, termasuk perjalanan mencari dukun ini.

Sepertinya gadis berambut kuning itu paham. Dia meletakkan dayungnya lalu berbalik, kini menghadap William. "Kamu sebaiknya tetap ikut kami."

"Oh ya?" William menantang. "Kenapa?"

"Seperti Freya tadi bilang, mungkin ada sesuatu yang terjadi padamu, yang saat ini belum bisa kita lihat atau kita mengerti."

"Tapi aku 'kan sudah sadar! Dan sama sekali tidak ada yang aneh!"

"Biar dukun kami yang memeriksamu."

"Tidak."

"Demi kebaikanmu!"

William memandangi gadis itu, yang tatapannya tegas. Sepertinya sudah jelas dia tidak mungkin dibantah, dan itu membuat William semakin kesal.

"Kamu menyembunyikan sesuatu dariku lagi?" tanya William sengit.

"Maksudmu?" balas Vida tak kalah keras.

Di tengah-tengah mereka Freya memundurkan duduknya, seperti wasit yang sedang memberi ruang buat Vida dan William untuk bertarung.

"Apa yang terjadi di gua? Setelah aku membunuh makhluk itu?"

Kening Vida sedikit berkerut begitu mendengar pertanyaan William, tetapi ekspresi wajahnya tetap tak berubah, "Kamu tidak ingat?"

"Aku membunuh makhluk itu, tapi sesudahnya aku tidak ingat." Tiba-tiba William merasa tidak nyaman. Kenapa ia sampai tidak bisa ingat?

Vida termangu. "Itulah kenapa aku bilang ada yang aneh denganmu."

"Terserah kalau menurutmu itu aneh, tapi aku mau tahu apa yang terjadi!" seru William.

"Kamu pingsan di dalam gua. Kami lalu berusaha menyadarkanmu, tapi tidak berhasil. Karena aku pikir itu tidak wajar, aku lalu bilang pada yang lain bahwa kamu harus dibawa ke dukun di utara, untuk diperiksa. Aku kenal dukunnya. Dia pasti tahu apa yang terjadi. Kamu tidak perlu takut."

"Takut? Aku belum berpikir ke sana," jawab William, berbohong. "Aku cuma tanya, kenapa tetap harus pergi ke dukun. Padahal aku sudah sadar!"

Vida tampak menarik napasnya. Gadis itu memandangi William. "Makhluk yang kamu bunuh bukan hewan biasa."

"Bukan hewan biasa? Nah, ini. Ini!" William menunjuk Vida sengit. "Ya, seingatku dia memang bukan hewan biasa. Tetapi kalau memang dia itu makhluk berbahaya, kenapa kita pergi ke sana? Buat apa?"

"Aku sudah jelaskan alasannya padamu."

"Ya, dan juga tidak. Aku ingat kalau soal itu. Alasanmu belum jelas. Masih lebih banyak yang kamu sembunyikan!" William menggeleng kesal. "Oke ... kalau memang kamu tidak mau cerita, ya sudah. Tetapi itu artinya kamu tidak mau mempercayaiku, sebagai seorang teman. Padahal aku sudah berusaha mempercayaimu. Sebagai teman."

Sebenarnya William tidak suka bicara dramatis, tetapi mungkin Vida mau mendengarnya dengan cara seperti ini.

Gadis itu tampak menimbang-nimbang. "Apa yang ingin kamu tahu?"

"Semuanya!" jawab William dengan nada kesal, walaupun dalam hati ia sebenarnya bersorak, karena ada tanda kalau Vida mulai terbuka.

"Seperti," lanjutnya, "kenapa kamu pergi jauh-jauh dari utara hanya untuk membunuh makhluk ini? Memangnya siapa dia? Apa kesalahannya? Apa hanya karena dia sudah membunuh banyak orang seperti ceritamu dulu?"

"Alasan itu tidak cukup buatmu?" tanya Vida.

"Kemarin cukup, sekarang tidak."

Vida terdiam.

William menatapnya, dan gadis itu balas melotot, tidak mau kalah.

Freya angkat bicara, "Kalau menurutku, kurasa tidak ada salahnya."

Vida menoleh, dengan jenis tatapan 'kamu-tidak-usah-ikut-campur'.

Namun dengan santainya Freya terus berkata, "Cerita ini sebenarnya juga sudah banyak yang tahu, tidak perlu dirahasiakan lagi. Buat apa juga menyembunyikannya? William sudah berkorban nyawa untuk membantu kita. Kalau kamu tidak mau menceritakannya, biar aku saja. Aku suka bercerita."

Vida dan Freya saling menatap. Yang satu galak, yang satunya santai.

William mengira, seperti biasanya Vida akan kembali mendominasi adiknya. Di luar dugaan ternyata gadis jangkung itu mengalah.

"Terserah," katanya. Vida berbalik dan kembali mendayung.

Freya tertawa.

William menyimpan keheranannya dalam hati. Tadinya ia pikir Vida akan bersikeras menyembunyikan soal ini, karena sifatnya yang tak mau kalah. Karenanya William sudah siap untuk terus membantah. Ternyata gadis itu membiarkan Freya bicara.

Mungkin William belum sepenuhnya benar menilai Vida. Mungkin dia tak sekeras itu.

"Ada sebuah legenda di negeri kami," Freya memulai ceritanya dengan gaya dramatis. Suaranya keras, kedua tangannya terbentang lebar.

William tertawa melihatnya. Rasa kesal yang tadi menyelimuti hatinya untuk sementara menghilang.

"Tentang makhluk buas yang tinggal di pegunungan timur," lanjut Freya. "Konon, ia sudah tinggal di sana sejak awal masa, tak lama setelah bumi terbelah dan para dewa kembali ke langit. Selama ribuan tahun dunia yang baru berdiri, tak ada orang yang mengetahui keberadaan makhluk itu. Tidak pernah, sampai suatu ketika Signar mendapat bisikan dari langit, tentang satu senjata peninggalan dewa yang mungkin masih tersimpan di bumi. Senjata yang sangat ia butuhkan." Freya menatap William dengan matanya yang berbinar cemerlang. "Kamu tahu siapa itu Signar?"

William nyengir. "Siapa? Jagoan kalian?"

"Seorang leluhur bangsa kami. Seorang kepala suku yang sangat hebat."

"Dari suku Vallanir?"

"Ya, ia hidup sekitar seratus musim dingin yang lalu," kata Freya. "Dewa berbisik padanya, bahwa dengan senjata itu ia akan memenangkan perang dan menyatukan bangsa Hualeg, kembali seperti dulu di awal masa."

Northmen SagaWhere stories live. Discover now