Bab 56 ~ Kuil Kesatria

261 84 1
                                    

Menjelang sore seluruh proses penguburan selesai. Vilnar ikut bersama ketiga pemuda dari selatan makan malam di depan rumah tempat Ailene dirawat.

Si pemuda berambut hitam panjang membuat api unggun, kemudian duduk menjauh di bawah pohon rindang sambil mengasah tombaknya. Gayanya tenang dan dingin, seakan-akan dia tak peduli pada kedua rekannya yang mencoba berbincang dengan Vilnar di samping api unggun.

Seperti biasa, Vilnar memperkenalkan diri terlebih dulu dengan menunjuk dadanya. "Namaku Vilnar. Aku orang Hualeg, sama seperti orang-orang yang kubunuh tadi siang."

Ia bertukar pandang sejenak dengan ketiga orang asing, menilai reaksi mereka. Ketika tiga orang itu tetap diam, kelihatan masih menunggunya, ia melanjutkan, "Aku tak menyesal membunuh mereka, walaupun mereka juga berasal dari utara. Karena aku sudah berniat. Kalian mungkin tidak tahu, tapi aku sudah melihat korban-korban mereka sebelum ini di desa-desa lainnya. Sebagai orang Hualeg, aku malu pada orang-orang selatan. Semoga tindakanku bisa menunjukkan penyesalanku."

Si rambut kelabu menerjemahkan seluruh ucapan Vilnar pada kedua rekannya, yang lalu mengangguk tanda mengerti.

Ia pun memperkenalkan diri, "Terima kasih, Vilnar. Namaku Walter. Sedangkan ini kakak pertamaku, Fabien," ia menunjuk si pemuda berambut cokelat muda. "Dan yang di sana itu Claude, kakak keduaku."

Wajah Claude, si rambut hitam panjang yang tangannya tak pernah lepas dari tombak, tetap tidak berubah, membuat Walter memberi komentar tambahan, "Dia tak banyak bicara, tapi dia pendekar tombak terbaik di Estarath. Kami bertiga adalah kesatria dari Kuil Kesatria di Gunung Hohn."

Vilnar belum pernah mendengar semua nama tempat yang disebutkan itu, tetapi ia tertarik pada satu hal. "Kalian bersaudara?"

"Kami berasal dari negeri-negeri yang berbeda, tapi di Kuil Kesatria kami berkumpul dan saling mengangkat saudara," Walter menjelaskan. "Aku bergabung dengan kedua kakakku sekitar setahun yang lalu. Kami bertiga pergi ke berbagai tempat, memerangi orang-orang Elniri, melawan penjahat, atau mencoba membantu rakyat yang tertimpa bencana, sejauh yang kami bisa. Biasanya kami tidak menemui banyak kesulitan, kecuali hari ini. Untungnya kau datang membantu. Untuk itu kami berterima kasih." Walter menundukkan kepalanya memberi hormat, yang kemudian diikuti oleh Fabien dan Claude.

Vilnar tak terbiasa dengan cara menghormat orang-orang selatan yang seperti itu, jadi ia pun balas menundukkan kepalanya dengan canggung.

Fabien mengatakan sesuatu pada Walter, yang lalu meneruskannya pada Vilnar, "Vilnar, kakakku Fabien kagum pada kemampuan bertempurmu, dan terutama sifat adilmu. Jika kau tidak keberatan, ia menawarimu untuk bergabung dengan kami dalam Kekesatriaan, untuk membantu rakyat yang membutuhkan bantuan di tempat ini, atau mungkin juga di tempat lain. Kami senang jika kau mau bergabung."

Vilnar termangu. Menjadi kesatria? Memangnya apa itu kesatria?

Namun walaupun belum jelas, kedengarannya itu sesuatu yang menarik. Mungkin nanti ia akan punya kesempatan pergi ke negeri-negeri yang jauh.

Hal itu membuat Vilnar teringat. "Apakah nanti aku juga bisa berkunjung ke desa tempat Ailene berasal? Kalian sudah tahu ia dari mana?"

Walter mengerutkan dahinya. "Kami sudah bicara dengan gadis itu. Katanya ia berasal dari negeri Tavarin, jauh di selatan, lebih jauh daripada Alton. Ia dan ayahnya pedagang yang sudah pergi ke banyak tempat. Musim panas ini kali pertama ia ke utara bersama ayahnya. Tak disangka orang Hualeg datang menyerang. Ayahnya terbunuh di desa yang kau datangi itu."

Vilnar menarik napas. Ia sudah memperkirakan sebelumnya bahwa mungkin ada keluarga Ailene yang ikut tewas, tetapi ia tidak menyangka kalau yang tewas adalah ayah gadis itu sendiri.

Dalam hati ia menyesal. Seharusnya ia bisa mengucapkan duka entah dengan cara apa.

"Dia bilang dia tidak punya keluarga lagi di Tavarin," lanjut Walter. "Ayahnya adalah keluarga satu-satunya. Kini dia belum tahu akan pergi ke mana."

Vilnar mendengarkan setiap kata dengan penuh perhatian.

Perasaannya bergejolak. Sesuatu meluap di dalam dirinya setiap kali ia memikirkan gadis itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu harus memulai dari mana. Ia takut ucapannya nanti akan ditanggapi dengan buruk oleh mereka, karena ia belum tahu bagaimana orang-orang di selatan ini bakalan bereaksi dengan niatnya.

Namun tidak mungkin juga ia menyembunyikan keinginannya. Ia harus mengatakannya, dengan tegas seperti layaknya orang-orang di negerinya.

Maka ia pun memberanikan diri. "Kalau begitu, bisakah kau tanyakan ... padanya, apakah mungkin ... ia bersedia tinggal lebih lama di sini?"

"Di sini?" Walter tersenyum, tapi keningnya berkerut, pandangannya menyelidik. "Ya, bisa saja. Tapi memangnya kau punya rencana apa?"

Vilnar menggeleng, tetapi itu bukan karena ia tidak punya rencana.

Apakah ia harus mengatakannya? Mungkin tidak.

Tetapi ... mengapa tidak? Memangnya ada yang salah dengan keinginannya?

Ia mengatur napasnya, lalu berkata hati-hati, "Maksudku ... kupikir, kau mungkin bisa bertanya pada gadis itu, apakah ia mau ... menikah denganku."

Begitu kata terakhir terucap seluruh bebannya terangkat. Kata-kata berikutnya meluncur lebih tegas, "Aku dan dia baru kenal beberapa hari, tapi tolong katakan padanya, aku akan mencintai dan melindungi dia dengan sepenuh jiwaku, selamanya. Aku bersumpah demi para dewa." Matanya menyorot tajam, seakan menantang siapa pun yang berani menolak keinginannya. "Kau bisa tanyakan itu padanya?"

Walter balik menatapnya cukup lama, lalu mengatakan sesuatu pada rekannya yang bernama Fabien.

Si pemuda berambut cokelat hanya memberi jawaban singkat, sementara si rambut hitam panjang melirik ke arah Vilnar sebentar, seperti menilai niatnya, atau ketulusan hatinya, sebelum kemudian mengangguk-angguk kecil dan kembali menggosok tombaknya.

Walter berkata, "Begini, kau tahu, untuk hal semacam itu, kau tidak bisa memaksakan kehendakmu sendiri. Gadis itu yang harus memutuskan."

"Aku tahu," jawab Vilnar. "Makanya kuminta kau bertanya padanya."

"Baik, aku akan menanyakannya pada gadis itu." Walter mengangguk, lalu senyuman lebarnya tersungging. "Kuharap kau beruntung, kawan."

Pemuda berambut kelabu itu kemudian masuk ke rumah menemui Ailene, untuk menyampaikan keinginan Vilnar yang ingin menikahi gadis itu.

Vilnar hanya bisa menunggu. Ia tak bisa menutupi kegelisahannya dan mulai mondar-mandir. Sesekali ia menunduk memandangi rerumputan, lain waktu menengadah menatap bintang.

Kemudian ia menyadari bahwa di sebelahnya, si kesatria berambut panjang bernama Claude tampaknya juga tengah melakukan hal yang sama, berdiri memandang bintang-bintang, seolah tengah melihat, atau mendengarkan sesuatu.

Vilnar mengikuti pandangan kesatria itu selama beberapa lama, kemudian merasa konyol sendiri. Memangnya apa yang harus ia dengarkan? Suara dari langit? Pesan dari para dewa?

Sejauh yang ia tahu, dewa lebih suka menyampaikan pesannya melalui hujan, guntur atau badai. Vilnar tidak yakin hal-hal semacam itu yang ia butuhkan saat ini.

Ia berbalik dan melihat ke arah Fabien yang duduk tersenyum padanya. Kesatria berambut cokelat itu menyodorkan segelas minuman hangat.

Vilnar meraihnya tanpa ragu dan meminumnya dengan sekali teguk.

Northmen SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang