Bab 40 ~ Serigala Besar

278 94 1
                                    

William terdiam, tak mampu menjawab si gadis berambut kuning.

Gadis itu melanjutkan kata-katanya, "Dengar, apa pun yang terjadi, aku harus terima kasih karena kamu sudah kembalikan adikku."

"Ya, tapi itu tidak penting lagi," William masih kesal, tapi sadar tak pada tempatnya juga marah pada gadis itu. Jika memang ada kesalahan, bisa jadi ia sendiri yang paling bersalah, karena ialah yang memaksa pergi ke utara dan meninggalkan teman-temannya di desa. "Terima kasih atas bantuanmu. Tapi aku akan ke desaku sekarang, walaupun harus lewat darat."

"Lewat hutan kamu baru akan sampai di desa kamu besok pagi. Atau siang, karena kamu tak mungkin jalan dengan baik saat gelap."

"Tidak masalah. Yang penting aku sampai."

"Tapi mungkin sudah terlambat. Benar? Tanpa adanya kamu, pasukan di desa kamu pasti kalah."

William balik menatap gadis itu, curiga. "Kau tahu apa tentang aku?"

"Cukup tahu, yang perlu aku tahu."

"Apa yang kau tahu?"

"Aku bisa menilai teman, atau musuh. Aku tahu, mana yang serigala besar, mana yang anjing kecil, dan mana anjing kecil yang hanya berpura-pura menjadi serigala besar. Kamu, serigala besar." Gadis itu menatap William lekat-lekat beberapa saat. 

Lalu dia melanjutkan, "Tapi, bahkan serigala besar tak bisa melakukan semuanya sendiri. Semua orang di desa kamu bisa juga jadi serigala, pada saatnya, jika mereka berani. Mereka punya pilihan. Bertarung, atau pergi. Ada atau tidak ada kamu, mereka harus bisa buat pilihan mereka sendiri."

William termenung. "Ini tanggung jawabku ..."

"Aku tahu." Gadis itu mengangguk, seolah mengerti. "Pergilah. Maaf, aku tadi berharap bisa bantu kamu, tapi ternyata tidak bisa."

William memperhatikan gadis itu lebih lama. Rasa ingin tahunya timbul. "Memangnya kau ingin membantuku bagaimana?"

"Aku berharap bisa antar kalian dengan perahuku, dan bantu serang orang-orang Logenir dari belakang. Tapi aku tidak bisa. Kalau Mornir lihat aku ikut campur lebih banyak, suku kami di utara akan dapat bencana."

William bertanya lirih, "Vallanir?"

Dahi gadis itu berkerut. "Kamu tahu?"

"Vallanir adalah sukumu, dan orang-orang itu musuhmu?"

Si gadis mengangguk. "Mereka orang Logenir. Dari luar mereka tak tampak seperti musuh. Tapi di dalam, musuh, dari dulu sampai sekarang." Raut wajah gadis itu berubah, tatapannya tajam. "Apa yang kamu tahu?"

William terdiam. Sesuatu bergejolak di hatinya. Sedikit demi sedikit ia mengerti. Ternyata hanya kedua gadis inilah yang berasal dari Vallanir, ditambah tiga laki-laki pengikut mereka. Sedangkan ratusan orang yang berperahu di bawah sana adalah musuh suku Vallanir dari utara. Suku Logenir. 

William penasaran, tiba-tiba ada banyak sekali pertanyaan yang ingin ia ajukan pada si gadis berambut kuning. Tentang siapa gadis ini sebenarnya, tentang seperti apa suku ayahnya di utara, dan lain-lain. 

Namun ia lalu sadar, ada banyak hal lebih penting yang harus dilakukannya saat ini. Sesuatu yang jika tidak ia lakukan segera, akan membuatnya menyesal seumur hidup.

William menjawab, "Aku hanya dengar sedikit dari adikmu."

Si gadis termangu, sepertinya hanya setengah percaya.

"Aku pergi sekarang." William menurunkan kakinya ke dinding tebing. Sebelum benar-benar turun, ia mengangkat wajahnya. "Terima kasih, atas semua bantuanmu. Kuharap ... kita berdua bisa bertemu lagi, kalau aku berhasil selamat. Bolehkah ... aku tahu namamu?"

Gadis itu masih diam, belum mau menjawab.

"Aku William."

"Aku ... Vida."

"Vida. Namamu cantik. Seperti ... wajahmu."

William tersenyum lebar pada gadis itu, yang tiba-tiba wajahnya bersemu merah, lalu cepat-cepat turun sebelum dirinya sendiri menjadi salah tingkah. Dalam hati ia memaki, itu tadi godaan konyol yang tidak pada tempatnya, terlebih pada situasi genting macam begini. 

Namun entah kenapa William benar-benar ingin mengatakannya, dan karena itu bukan hal yang buruk, mestinya itu tidak perlu jadi masalah, bukan?

Di bawah, William menjelaskan seluruh situasi pada rekan-rekannya. Begitu mereka paham, ia mengajak mereka cepat-cepat pergi. 

Ia berlari menembus hutan ke selatan, meninggalkan Vida yang masih berdiri di atas tebing, dan satu gadis lain di belakangnya, si rambut merah, yang sejak tadi tak pernah sekedip pun melepaskan tatapannya dari William.

Hutan yang harus dilewati William dan prajuritnya tidak mudah dilalui. Tak hanya lebat, datarannya pun naik turun serta bertebing-tebing. Beberapa kali, setelah menerabas hutan, mereka menemui jalan buntu atau tebing curam, sehingga terpaksa memutar untuk mencari jalan lain. 

Mereka harus berhati-hati, dan terus mengamati arah matahari dan bayang-bayang yang dibuatnya, supaya posisi mereka tidak melenceng jauh dari arah yang mereka tuju.

Situasi menjadi lebih sulit ketika malam tiba. Seperti kata Vida, hutan benar-benar gelap. William tadinya berharap bisa mendapat sedikit cahaya bulan. Sayangnya, tak ada keberuntungan baginya. Awan cukup tebal dan agaknya mustahil melanjutkan perjalanan. 

William terpaksa berhenti. Ia dan para prajuritnya beristirahat di hutan. Mungkin memang sudah waktunya, setelah hari yang sangat berat. Dalam waktu singkat semuanya terlelap.

Esoknya William terbangun saat hutan masih gelap, walaupun matahari mestinya sudah terbit. Dengan tubuh segar mereka berlari lebih cepat. Semangat pun sudah kembali pulih. 

Ketika matahari mencapai puncak mereka akhirnya berhasil keluar dari hutan. Di depan, dinding tebing tinggi menjulang. Di atas tebing itulah Thaluk berada. 

Mereka gembira, tapi tak lama. Kekhawatiran menyeruak begitu mereka melihat perahu-perahu panjang Hualeg yang tertambat di tepi sungai. 

William dan rekan-rekannya saling memandang.

"Kalian dengar suara pertempuran?" tanya William.

Kelima prajuritnya mendengarkan, lalu menggeleng. "Tidak."

"Berarti ... apa sudah selesai?" tanya Thom gelisah.

"Maksudnya?" tanya Spitz.

"Kita sudah kalah!" kata Thom ketus. "Apa lagi?"

"Semua mati," Mullen menyahut sedih.

"Belum tentu," jawab William. "Kita harus lihat dulu."

"Kau mau ke sana?" tanya Thom. "Ke desa?"

William memperhatikan bukit yang terletak di sebelah timur desa. "Aku akan memanjat tebing ini lalu masuk desa lewat sana. Itu satu-satunya cara supaya bisa naik tanpa terlihat dari desa." 

Ia menatap para prajuritnya. "Mungkin aku masih bisa melakukan sesuatu. Kalian ikut? Kalian tak perlu ikut kalau—"

"Tentu saja kami ikut!" sahut Thom.

Mullen mengangguk. "Ya. Ayo."

"Sebentar, sebentar," tahan Boulder. "Maksudmu, memanjat tebing ini?"

"Kau bisa tinggal di sini kalau tidak bisa," kata William.

"Aku bisa!" Boulder menggerutu. "Ini menyebalkan, tapi aku bisa!"

Diikuti rekan-rekannya William berlari menyeberangi lereng di kaki bukit hingga sampai di sisi tebing. 

Tebing yang akan mereka panjat tingginya sekitar lima belas tombak, kurang lebih sama dengan tinggi dua puluh orang dewasa. Cukup curam, hampir tegak lurus dengan permukaan sungai. Ada banyak celah yang bisa dipakai sebagai pijakan dan pegangan, tetapi tetap saja sulit dan berbahaya. 

William pun meneguhkan hati.

Ia harus naik. Ia harus bisa.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now