Bab 32 ~ Si Rambut Merah

303 98 1
                                    

William dan para prajuritnya melanjutkan pencarian. Sembilan orang maju ke seberang sungai, menyebar dalam tiga kelompok, sementara dua lainnya tetap di belakang untuk berjaga-jaga. 

Mereka jadi lebih percaya diri, setelah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang-orang Hualeg yang konon sangat mengerikan itu ternyata bisa mati seperti manusia biasa.

Di dalam hutan William menemukan dua mayat lagi. Keduanya adalah prajurit yang kemarin juga berpatroli bersamanya. Dengan demikian lengkap sudah, kelima prajurit yang hilang itu memang sudah mati.

William menggeleng sedih. Mungkin benar kata Taupin, seharusnya ia kemarin tetap bersama para prajuritnya itu. Ia bisa membantu mereka saat terjadi pertempuran, dan mereka tidak perlu mati.

Namun satu hal tetap membuatnya heran, apa yang membuat kelima prajurit itu terpancing kemari. Apakah mereka melihat seseorang di sini dari tepi sungai, lalu mengejarnya? Apakah mereka berani mengejar jika yang mereka lihat itu adalah orang-orang Hualeg yang menakutkan ini?

Mestinya tidak. Pasti ada sesuatu yang lain.

"Sekarang apa?" tanya Thom.

"Kita harus mencari penyebab mereka mati."

"Mereka dibunuh orang-orang Hualeg. Itu sudah jelas."

"Itu bukan jawaban yang benar," tukas William.

"Itu jawaban yang cukup," balas Thom. "Sebaiknya kita pulang, sambil membawa jenazah teman-teman kita. Mereka mati karena terpancing sesuatu. Kau mau itu terjadi juga pada kita? Pada mereka?" Ia melirik rekan-rekan di belakangnya.

William terdiam. Thom benar, jika ia terlalu mengikuti rasa ingin tahunya mereka semua bisa celaka. Ia tak bisa mengandalkan keberuntungannya terus. Keberuntungan tidak akan datang berkali-kali. 

Di sisi lain, ia tak mungkin mengabaikan keinginannya untuk mengetahui apa yang ada di balik sederet kematian ini. Karena bisa jadi itu kunci yang bisa menghindarkan mereka dari bencana yang lebih besar.

"Begini saja," ia berkata. "Aku akan memeriksa sedikit lagi. Kalian, tiga orang berjaga di sini, sisanya bawa kelima jenazah teman kita ke perahu, lalu tunggu di sana. Kalau aku tak kembali sampai matahari terbenam, kalian pulang saja."

"Lalu ... bagaimana kau nanti bisa pulang?"

"Aku akan mencari jalan. Aku bisa menyusuri tepian sungai lewat darat sampai ke rumah Bullock. Di sana mungkin aku bisa meminjam perahunya."

"Jarak ke sana cukup jauh, dan kau tak tahu apa yang ada di dalam hutan," tukas Thom. "Kau tak perlu melakukan ini, Tuck. Ini resiko yang tidak perlu kau ambil."

"Jangan khawatir, aku bisa bersembunyi. Pergilah, dan hati-hati."

"Kau yang mestinya hati-hati."

William melanjutkan pencarian. Sempat ia berpikir, dengan berjalan sendiri berarti taktik yang tadi dibuatnya bersama Thom menjadi tidak berguna. Ia harus bertarung sendirian lagi.

Ia masuk semakin dalam ke hutan yang gelap. Menyusup di antara pepohonan, berbelok ke kiri, ke kanan, sambil tetap berusaha mengingat jalan yang dilewatinya. 

Ia heran, ketika lalu melihat langit kembali terang, dan pohon-pohon kembali jarang. Ia sampai di tempat terbuka lain di tengah hutan.

Ia mengintip dari balik belukar. Ternyata ada lagi sungai kecil di depannya. Lebih lebar daripada anak sungai tempat William bertempur tadi, tetapi kemungkinan besar ini adalah aliran sungai yang sama, yang berkelok-kelok di tengah hutan dan akhirnya sampai kemari. Salah satu ujung sungai ini pastilah menuju ke anak sungai yang lebih besar.

Napasnya tertahan begitu ia mendengar suara orang berbicara. Ia memperhatikan, ada dua orang sedang duduk berbincang di tepi sungai. Keduanya laki-laki dan bertubuh besar. Tak jauh dari keduanya, ada seorang gadis berambut merah kecokelatan.

William tertegun, apakah itu gadis yang ia temui kemarin? Baju yang dikenakannya mirip, tetapi hanya itu persamaannya. Selain warna rambutnya yang berbeda, perempuan ini memiliki bentuk wajah lebih lonjong, hidung lebih mancung, dan tubuhnya lebih kecil. Gadis itu ikut tertawa bersama kedua prajurit di dekatnya. Berbeda dibanding gadis kemarin yang serius.

Tiba-tiba gadis berambut merah itu berhenti tertawa. Matanya menatap lurus ke arah belukar tempat William bersembunyi. Dia mengatakan sesuatu. Kedua prajurit di dekatnya langsung berdiri sambil mengambil pedang.

William memaki, tak percaya mereka bisa melihatnya. 

Kedua prajurit Hualeg itu mendekat, menyeberangi sungai yang dasarnya tak sampai selutut. Keduanya berhenti, kemudian berteriak. William yang tadinya ingin langsung keluar pun mengurungkan niatnya. Mereka seperti sedang memanggil.

Namun ternyata tak ada musuh lain yang muncul. Kemungkinan mereka tadi memanggil rekan-rekannya yang sudah dihabisi William lebih dulu.

Teriakan si gadis berambut merah terdengar. Kedua laki-laki itu pun maju lagi dengan langkah lebar. William mundur untuk mendapatkan posisi tarung lebih baik. Begitu seorang Hualeg menyibak belukar lebat dan mengayunkan pedangnya, William sudah siap. 

Pedangnya memutar lebih kencang, menghantam pedang musuhnya hingga dia terdorong jauh ke kiri. Dengan kedua tangan William ganti mengayun pedangnya ke kanan, menebas telak leher si prajurit tanpa ampun.

Musuh kedua datang dan mengayunkan pedangnya tiga kali. William menangkis kemudian bergerak di sela-sela pepohonan, membuatnya musuhnya kesulitan dan bahkan akhirnya pedang musuhnya itu menancap di satu batang pohon. 

William menemukan celah, menunduk lalu menghunjamkan pedangnya lurus ke pinggang kiri musuhnya. Si orang Hualeg meraung. Dia mencabut pedangnya dan berusaha menyerang balik. 

William mengelak, seraya berputar mengayunkan pedangnya mendatar ke leher musuhnya, memotongnya.

William menatap musuhnya yang terakhir, si gadis berambut merah.

Gadis itu ketakutan. Dia mengacungkan pedangnya sambil berteriak-teriak, lalu tiba-tiba berbalik, lari menyusuri sungai ke arah kanan.

William langsung mengejar, dan tentu saja larinya lebih cepat. 

Air sungai berkecipak-kecipak. Dalam waktu singkat William sudah sampai di belakang gadis itu. Ia menerkam. Keduanya jatuh ke sungai. 

William menekan punggung musuhnya hingga dia gelagapan, panik, dan memberontak berusaha mengeluarkan kepala dan tubuhnya dari dalam air.

Sesaat kemudian William tersadar, tindakan mengerikan apa yang ia lakukan ini? Apakah ia hendak membunuh seorang perempuan yang sudah tidak berdaya?

Cepat-cepat ia menarik tubuh gadis itu keluar dari dalam air. Gadis itu terbatuk-batuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam mulutnya, kemudian pingsan. 

Dada William naik turun, tiba-tiba sesak. Ia memandangi wajah gadis itu, yang ternyata tidak setua yang ia bayangkan. Sepertinya gadis ini malah lebih muda dibanding gadis berambut kuning yang ditemuinya kemarin.

William termenung dengan perasaan campur aduk. "Maaf, karena aku melakukan ini. Kau musuhku, kalian membunuh teman-temanku, tapi aku tidak akan membunuhmu. Aku akan membawamu, dan kami akan menanyaimu."

Bicara pada gadis yang sedang pingsan tentu saja tidak berguna, tetapi paling tidak itu bisa membuat hati William lebih tenang. Mungkin bisa menjadi semacam permintaan maaf karena tadi ia telah bertindak kejam pada gadis itu. 

Sesuatu yang tidak pantas dilakukan, walaupun dia adalah musuhnya.

Northmen SagaWhere stories live. Discover now