Ch 21 [IND]

2K 34 3
                                    

"Bold."/"Bold italic." : animatronik yang berbicara/di dalam pikiran

"Normal."/"Normal italic." : manusia yang berbicara/di dalam pikiran

=o^o=

Ujung-ujungnya Michael mengatakan bahwa dia sendiri yang akan memperbaiki sisa dari langit-langit berlubang di rumahnya kepada Mark.

Terima kasih pada Ennard.

Animatronik itu mulai makin menjengkelkan dari waktu-waktu sebelumnya dan Michael tidak tahu apa alasan Ennard. Michael menebak Ennard hanya bosan dan ingin mengganggunya, juga karena tidak menyukai Mark. Mungkin. Karena Ennard kerap memaksanya untuk meninggalkan tempat tinggal Mark secepatnya, tapi dia memutuskan untuk pindah setelah mendapatkan pekerjaan baru.

Lagipula tidak ada yang aneh dengan Mark, lelaki itu cukup baik seperti biasa.

"Apa yang membuat pengangguran sepertimu terlihat uring-uringan?"

Michael menoleh, Mark terkekeh kecil menghampiri dirinya. "Apa aku terlihat uring-uringan?" Michael balik bertanya dengan dahi mengerut.

"Kinda," Mark menjawab santai, lantas meletakkan sekotak jus di samping Michael. "Kubelikan."

"Kenapa, kau kasihan?"

"Benar."

Dengkusan kasar Michael keluarkan dan menjatuhkan kotak jus itu dengan sengaja. "Tidak sudi," dia berkata, merasa jengkel akan Mark.

"Kekanakan sekali."

"Jangan kekanakan ..."

Kenapa mereka berdua sangat mengesalkan sekarang?

"... Terrance."

Bahu Michael tegang, matanya melirik Mark secara perlahan. "Kau ... baru saja memanggilku dengan apa?" suaranya rendah, seakan-akan berbisik.

"Michael," Mark menjawab santai, tapi sesaat kemudian dia bergidik ketika Michael langsung mencengkram kerahnya erat-erat. "Geez—maaf, maaf!" ujar Mark agak panik, dia tidak menyangka reaksi tersebut dari teman lamanya. "Aku tak tahu kau bisa sekesal itu jika seseorang memanggil nama lamamu."

"Kau pikir?!" Michael menghardik marah.

"Cekik dia."

"Sudahlah!" Si sulung Afton itu melepas cengkramannya pada kerah Mark dan mendecih, menggertakkan giginya penuh kekesalan.

Mark memegang kerahnya yang berantakan lantaran Michael, sebelum mendengkus kecil. Michael mendengar dengkusan itu dan mengerling dengan tajam, sebelum menggeram begitu Mark menarik pipinya. "Anak manis jangan merajuk," ujar Mark menggoda. "Aku sudah minta maaf."

"Kau menyebalkan."

"Patut dipukul."

"Berhenti menggodaku," Michael berkata seraya menepis tangan Mark, dia mengernyit. "Kau punya pacar."

"Lalu?"

Michael menganga. "'Lalu', kau bilang?" ujarnya tak percaya. "Berhentilah berselingkuh! Kau mau pacarmu memutuskanmu dengan cara yang sama denganku dulu?" Michael berdecak tak mengerti akan jalan pemikiran Mark. "Dan aku pikir kau telah berubah menjadi lebih baik."

"I did change," Mark membalas sembari mengendikkan bahu.

"Kutarik kata-kataku." Michael menautkan kedua alisnya satu sama lain dan merapatkan garis bibir. Mungkin ini satu-satunya hal yang tidak dia suka dari Mark; Mark setia pada kawan-kawannya, tapi tidak pada pasangannya. "Jangan coba-coba," ancamnya kemudian kepada lelaki itu, membuat Mark tergelak.

"Kenapa? Kau menyukai orang lain saat ini, hm?" Mark bertanya penasaran, makin merapat ke arah Michael.

"Tidak."

"You like me though."

"I fucking hate you."

"Atau kau sebenarnya memiliki pacar rahasia?"

Michael mengerang keras. "Tentu tidak, bodoh. Aku tak memiliki waktu untuk memikirkan pasangan saat ini," dia berujar.

Mark membuat suara di tenggorokannya. "Berarti kau masih menyukaiku?"

"Kenapa kau bisa sangat percaya diri seperti itu?" Michael memandang Mark dengan bingung, tidak mengerti dari mana Mark mendapat kepercayaan dirinya. "Aku takkan pernah bisa mempercayaimu seutuhnya seperti dahulu kala setelah kau meninggalkanku begitu saja," dia berujar, rasanya hari ini dirinya merasa kekesalannya memuncak.

"Kau tak memberitahuku alasan dari penutup matanya karena kau tak mempercayaiku hanya karena itu?"

"Itu bukan sekedar alasan sepele, Mark," Michael berkata pelan, dia secara perlahan menundukkan pandangannya. "Jangan membuatnya terdengar itu seolah-olah hal yang mudah. Bagimu mungkin iya, tapi bagiku tidak. Aku tak suka kau memainkan perasaanku."

"Jadi memang ada kemungkin kau masih menyukaiku?"

"Lihat betapa keras kepalanya dia."

"Sekali lagi, kenapa kau bisa sangat percaya diri seperti itu?" Michael mendengkus, dahinya mengernyit ke arah Mark dan Michael memanyunkan bibir. Mark hanya tersenyum simpul untuk menjawab pertanyaan. "Menyebalkan. Enyah saja sana."

Gelak tawa pelan terdengar dari Mark, Michael bahkan tak lagi peduli Mark mengacak-acak rambut cokelatnya. "Maaf," Mark berkata, kali ini lebih bersungguh-sungguh, tapi Michael enggan. "Akan kubelikan roti deh."

Michael tersedak mendadak. "Roti?" dia berujar, kini kekesalannya digantikan dengan rasa panik.

"Roti. Terdengar enak."

"Apa kau tak bisa untuk tidak menimbrung sebentar saja?"

"Tidak."

Mark mengangguk. "Roti panggang kesukaanmu," dia berkata santai, menyenderkan punggungnya ke kepala kursi kayu sembari memandang Michael. "Kita mungkin bisa membelinya di tempat Simon, kudengar dia telah melanjutkan usaha toko roti keluarganya."

"Itu ... bagus," Michael menanggap, tak lama kemudian dia menggeleng cepat. "Tapi tidak."

"Kenapa? Kau ingin makanan lain? Kita belum makan siang." Mark menelengkan kepalanya ke samping, dia terlihat bingung. "Kita bisa memesan pasta."

"Apapun selain pasta."

Michael ingin tertawa mendengar tanggapan Ennard kali ini, tapi dia menahannya hingga itu terdengar seperti sebuah batuk kecil. "Kurasa tidak, Mark," Michael membalas. "Aku tak lapar. Kalau kau lapar makan saja sana. Aku kenyang."

"Bagaimana bisa kau kenyang ... kau tidak memakan apapun sejak semalam, Mike."

Mark menatapnya dengan tajam, membuat Michael kembali panik—dia salah tingkah dan tidak tahu harus menjawab apa. "Pola makanku berantakan." Michael masih mencoba mengelak.

"Kita bisa pergi ke dokter untuk memperbaiki itu."

"Tidak!"

Dengan cepat Michael menutup mulutnya, dia merutuk lantaran Mark pasti mencurigainya sekarang. "Tidak perlu," Michael melanjutkan ucapannya buru-buru. "Belikan aku soda, itu sudah cukup. Kumohon."

Selama satu menit Mark tidak menjawab.

"Baiklah kalau begitu."

"Bagus," Michael membalas dan mengangguk kecil sebelum berterima kasih.

"Soda?"

"Untukku, bukan untukmu."

"Soda?"

"Lain kali."

"Soda."

"Aku bilang lain kali."

Mengabaikan Mark yang masih menatapnya dengan intens, Michael merasa dirinya meneladeni seorang anak kecil yang membutuhkan perhatian di sisi lain.

The BondWhere stories live. Discover now